Depok – Isu tentang arus balik reformasi TNI kembali menguat. Dalam Seminar Nasional bertajuk “Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi” yang digelar di FISIP Universitas Indonesia, Rabu (8/10/2025), sejumlah aktivis, akademisi, dan pegiat HAM memperingatkan adanya tanda-tanda kemunduran dalam reformasi militer di Indonesia.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan, dan dihadiri oleh sekitar 30 peserta dari berbagai elemen — mulai dari Imparsial, PBHI, KPI, Centra Initiative, Amnesty International Indonesia, hingga mahasiswa Front Mahasiswa Nasional (FMN).
Para pembicara menyoroti bahwa keterlibatan militer dalam ranah sipil dan politik kini kembali meningkat, bertentangan dengan semangat reformasi 1998.
Aktivis Ardimanto dari Imparsial menegaskan, masih berlakunya UU Peradilan Militer Nomor 31 Tahun 1997 menjadi bukti lemahnya akuntabilitas hukum di tubuh militer.
“Selama undang-undang itu tidak direvisi, maka impunitas akan tetap terjadi. Kita harus mengembalikan TNI ke fungsi aslinya: pertahanan, bukan politik atau bisnis,” ujarnya.
Sementara itu, Helda Khasmy dari ILPS Indonesia menilai bahwa menguatnya militerisme bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga merupakan bagian dari krisis global.
“Kita sedang menyaksikan bagaimana militer dijadikan instrumen untuk membungkam kritik dan menjaga stabilitas semu. Perdamaian yang diciptakan dengan senjata bukanlah kedamaian yang sejati,” tegasnya.
Dari PBHI, Gina Sabrina mengingatkan bahwa banyak memorandum of understanding (MoU) antara TNI dengan berbagai instansi sipil yang justru memperluas kewenangan militer di luar fungsi pertahanan.
“TNI kini sering dilibatkan dalam urusan sipil tanpa persetujuan DPR. Ini bentuk mundurnya reformasi sektor keamanan,” katanya.
Kritik senada juga disampaikan Mike Tangka dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang menilai bahwa militerisasi dalam kehidupan sipil semakin normal.
“Militer sering hadir di tengah masyarakat bukan untuk melindungi, tapi menciptakan rasa takut. Ini bukan profesionalisme, ini kemunduran demokrasi,” tegasnya.
Seminar tersebut menyimpulkan bahwa pemerintahan saat ini tengah memperkuat pola-pola militeristik dalam kebijakan keamanan nasional, baik melalui komponen cadangan, pelibatan ormas dalam urusan keamanan, maupun dominasi aparat dalam penanganan isu sosial.
Para peserta menegaskan bahwa arah kebijakan seperti ini mengancam supremasi sipil dan menimbulkan kekhawatiran atas kembalinya “dwi fungsi ABRI” gaya baru.
Menjelang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto (20 Oktober 2025), seminar ini menjadi alarm keras bagi publik dan parlemen agar kembali mengawal agenda reformasi sektor keamanan.
“Kita tidak ingin reformasi yang diperjuangkan sejak 1998 hancur oleh euforia kekuasaan. TNI harus kembali ke barak, bukan ke politik,” tegas salah satu peserta menutup seminar.