Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap anggota TNI yang terlibat tindak pidana. Desakan untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer kembali mencuat setelah Mahkamah Agung (MA) menurunkan hukuman dua eks prajurit TNI AL dari seumur hidup menjadi 15 tahun penjara dalam kasus penembakan seorang pengusaha rental mobil.

Koalisi menilai, keputusan MA pada 2 September 2025 itu mencerminkan masih kuatnya praktik impunitas dan lemahnya transparansi peradilan militer. Dalam kasus tersebut, terdakwa Bambang Apri Atmojo dan Akbar Adli mendapat pengurangan hukuman signifikan tanpa penjelasan hukum yang terbuka kepada publik. Terdakwa lain, Rafsin Hermawan, juga mengalami penurunan vonis dari empat tahun menjadi tiga tahun penjara.

“Proses peradilan tertutup seperti ini bertentangan dengan prinsip akuntabilitas publik. MA seharusnya menjadi benteng terakhir supremasi hukum, bukan bagian dari mekanisme impunitas,” demikian pernyataan resmi Koalisi, Selasa (21/10/2025).

Tak hanya itu, koalisi juga menyoroti kasus lain di Medan, di mana Pengadilan Militer I-02 menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara terhadap Sertu Riza Pahlivi yang terbukti menganiaya pelajar SMP hingga meninggal dunia. Vonis ringan tersebut memicu kritik luas karena dinilai tidak sebanding dengan beratnya perbuatan.

">

Koalisi menilai, vonis ringan seperti ini memperlihatkan ketimpangan perlakuan hukum antara warga sipil dan aparat militer. “Ketika pelakunya berasal dari institusi militer, hukum tampak tunduk pada seragam dan pangkat, bukan pada keadilan,” tegas pernyataan itu.

Menurut koalisi, situasi tersebut menggambarkan pola berulang: mekanisme peradilan militer cenderung tertutup, memberikan perlakuan tidak setara, serta menurunkan kepercayaan publik terhadap supremasi hukum di Indonesia.

Dalam konteks hukum nasional, Pasal 65 ayat (2) UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 sebenarnya telah menegaskan bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum. Namun, kenyataannya praktik tersebut belum dijalankan secara konsisten.

Koalisi yang terdiri dari Imparsial, KontraS, YLBHI, ICJR, Amnesty International Indonesia, HRWG, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya menilai bahwa kegagalan pemerintah dan DPR untuk menuntaskan revisi UU Peradilan Militer telah menyebabkan sistem hukum bagi anggota TNI tetap tertutup dan tidak setara di depan hukum.

Mereka menegaskan, tanpa revisi menyeluruh terhadap UU tersebut, impunitas dalam tubuh militer akan terus berulang dan menjadi ancaman terhadap prinsip negara hukum serta supremasi sipil.

Koalisi juga mendesak Panglima TNI untuk memperkuat pengawasan internal, termasuk pengendalian penggunaan senjata api oleh prajurit serta evaluasi psikologis secara berkala.

“Reformasi sektor keamanan hanya bisa berjalan bila setiap pelanggaran oleh anggota TNI diadili secara terbuka di peradilan umum. Hukum harus tegak di atas seragam, bukan sebaliknya,” tutup pernyataan itu.