Jakarta – Wacana reformasi kepolisian kembali mencuat dan menuai reaksi pro dan kontra. Publik digiring untuk percaya bahwa “reformasi Polri” adalah jawaban atas berbagai gejolak sosial, ekonomi, HAM, dan dinamika politik.
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) mengatakan bahwa delegitimasi semacam ini membawa risiko besar bagi demokrasi dan keamanan negara. Pertama, erosi kepercayaan masyarakat.
Jika publik terus diberi narasi negatif yang terfokus pada figur, maka institusi akan kehilangan legitimasi. Padahal, kepercayaan adalah modal utama aparat keamanan. Kedua, politisasi berlebihan terhadap penegakan hukum.
Kapolri yang dicopot atau diangkat karena tekanan politik akan kehilangan independensi. Polisi bisa berubah menjadi perpanjangan tangan kelompok politik, bukan penegak hukum netral.
Terpisah, Anggota Komisi III DPR RI, Benny K Harman menyatakan pihaknya mendukung apabila Presiden RI Prabowo Subianto membentuk komisi untuk mengevaluasi dan mereformasi Polri.
Menurut Benny mengatakan sejatinya cetak biru untuk reformasi Polri sudah ada, namun belum dilaksanakan.
Namun, bagi Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), M. Choirul Anam menyebutkan bahwa Reformasi Polri bisa dilakukan tanpa harus membongkar total. Caranya dengan melanjutkan hal-hal positif yang sudah ada dengan memperketat lagi pengawasannya serta melengkapi instrumen yang ada, sejalan dengan perkembangan teknologi.