Jakarta – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memberikan sejumlah catatan penting dalam proses pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan dan Ketahanan Siber atau RUU KKS.
Komisioner Komnas HAM Saurlin Siagian mengatakan catatan itu berkaitan dengan partisipasi publik, susbtansi, dan poin-poin rekomendasi Komnas HAM yang telah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis, 16 Oktober 2025.
“Dalam draf yang kami peroleh versi 1 Oktober 2025, pada prinsipnya Komnas HAM mendesak negara dan militer tak masuki ruang digital sipil,” kata Saurlin dalam diskusi bertajuk “RUU KKS: Proyeksi Terhadap Ancaman HAM, Reformasi Militer, dan Sistem Peradilan, di Jakarta Selatan pada Jumat, 17 Oktober 2025.
Dalam pembahasan paripurna Komnas HAM terkait substansi RUU KKS, dia melanjutkan, negara yang menjunjung tinggi HAM tentu memahami akan batasan-batasan yang terdapat dalam konsep digital rights.
Pada konsep digital rigths ini, kata dia, Komnas HAM menggunakan pendekatan negative rights atau rumpun yang mengharapkan negara memposisikan diri sebagai institusi yang menahan diri, khususnya dalam mengeksplorasi ruang digital sipil.
“Dalam pendekatan ini, hak untuk bersuara, berekspresi di ruang digital mensyaratkan negara tidak boleh terlalu banyak memasuki ruang digital sipil,” ujar Saurlin.
Dia menjelaskan, dalam konsep digital rights, memang terdapat pula pendekatah positive rights, yakni pendekatan yang memperkenankan negara untuk memasuki ruang digital sipil. Namun, dengan tujuan bukan untuk mengintervensi.
Positive rights yang dimaksudkan, Saurlin mengatakan, hanya memposisikan negara sebagai institusi yang menyiapkan infrastruktur ruang digital, termasuk dalam rangka membangun literasi digital yang baik dan sejalan dengan HAM. “Tetapi, tentu dalam RUU KKS ini posisi negara harus menggunakan pendekatan negative right atau tidak memasuki ruang digital sipil,” kata dia.
Dalam kesempatan serupa, Direktur Imparsial Ardi Manto Putra mengatakan RUU KKS berpotensi menjadi pijakan perluasan peran militer dalam ruang digital sipil. Misalnya, dalam ketentuan di Pasal 56 RUU KKS versi 1 Oktober 2025. “Diatur ketentuan yang membuka peluang bagi militer untuk menjadi penyidik di ranah sipil,” ujar Ardi.
Menurut dia, pemberian wewenang penyidikan bagi militer, selain tumpang tindih dengan aparat penegak hukum, hal tersebut juga berpotensi menimbulkan intimidasi digital manakala masyarakat sipil menyampaikan aspirasinya di ruang digital. “RUU KKS gagal memberikan demarkasi yang tegas antara keamanan siber dan pertahanan siber,” kata Ardi.
Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayor Jenderal Freddy Ardianzah belum menjawab pesan konfirmasi Tempo, ihwal kritik RUU KKS yang disampaikan Komnas HAM dan koalisi masyarakat sipil.
Namun, pada 14 Oktober 2025, Freddy mengatakan fungsi militer dalam bidang siber terbatas pada ancaman terhadap kedaulatan negara, bukan penegakan hukum terhadap masyarakat sipil. “Prinsip civilian supremacy tetap dipegang,” kata Freddy.
Pada 2019 lalu, DPR memasukkan RUU KKS ke daftar program legislasi nasional. Setahun berselang, RUU ini diperbarui agar masuk dalam daftar prolegnas 2020. Kendati saat itu berstatus sebagai RUU usul inisiatif DPR, pemerintah melalui BSSN sempat menyiapkan draf tersebut agar dilakukan pembahasan.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, saat ini pembahasan RUU KKS masih dalam tahap harmonisasi antar-kementerian dan belum bersifat final.
Sumber : Tempo.co
