Jakarta – Ketua Umum Barisan Insan Muda (BIMA) Indonesia, Syarief Hidayatullah, menegaskan bahwa wacana reformasi Polri tidak boleh dilakukan dengan emosi atau amarah. Menurutnya, gagasan untuk membubarkan Polri atau melebur institusi tersebut ke dalam kementerian adalah langkah keliru dan reaktif.

“Reformasi Polri harus dilakukan dengan kepala dingin, bukan dengan amarah. Kalau dengan amarah, yang muncul hanya reaksi emosional seperti tuntutan pembubaran atau peleburan Polri. Tapi kalau dengan kepala dingin, yang lahir adalah solusi positif dan konstruktif,” ujar Syarief, Minggu (19/10).

Ia menilai secara faktual, Polri masih sangat dibutuhkan sebagai institusi penegak hukum. Namun, diakui bahwa masih terdapat berbagai kekurangan yang perlu dibenahi. “Yang diperlukan adalah perbaikan, bukan pembubaran,” tegasnya.

Syarief juga menyoroti perlunya reformasi di sektor rekrutmen anggota Polri yang selama ini dianggap belum transparan. “Stigma yang berkembang di masyarakat adalah bahwa masuk Polri harus punya ‘orang dalam’ atau menyogok. Begitu juga untuk sekolah dan kenaikan pangkat, harus ada uang atau koneksi. Akibatnya, saat menjabat, yang dipikirkan hanya bagaimana mengembalikan modal. Ini yang harus diubah,” jelasnya.

">

Selain itu, Syarief mengingatkan soal gaya hidup mewah sebagian pejabat Polri yang menimbulkan jarak dengan anggota di level bawah serta persepsi negatif di masyarakat. “Polri perlu tampil sederhana, dekat dengan rakyat, bukan hidup dalam kemewahan,” tambahnya.

Ia juga menekankan pentingnya pengawasan independen terhadap Polri, agar kewenangan besar yang dimiliki tidak disalahgunakan. “Kompolnas seharusnya independen dan berani bersikap objektif menilai Polri. Bukan malah menutupi kesalahan,” ujarnya.

Menutup pernyataannya, Syarief mengingatkan agar Polri tidak terlibat dalam politik praktis. “Polri jangan dibawa ke ranah politik. Jangan jadi alat kekuasaan. Jadilah penegak hukum yang adil dan tidak tebang pilih. Insya Allah, Polri akan kembali dicintai rakyat,” pungkasnya.