Jakarta – Reformasi Polri kembali menjadi sorotan publik seiring diskusi terbuka yang digelar oleh Corong Rakyat dan JARI 98 di Kopi Oey, Blok M Square, Jakarta Selatan, Jumat 21 November 2025.
Dalam diskusi bertajuk “Di Tengah Sorotan Publik: Reformasi Polri & Pertaruhan Kepercayaan Masyarakat di Era Digital”, Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, memberikan catatan tajam mengenai arah pembenahan institusi Polri di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Fernando menegaskan bahwa reformasi Polri bukan hal baru, melainkan proses panjang yang telah berjalan sejak 2011 dan kini memasuki fase krusial di era digital.
“Reformasi ini tidak bisa kita hindari. Ini kebutuhan bersama, baik kebutuhan internal kepolisian maupun kebutuhan eksternal yang dibentuk oleh Presiden,” kata Fernando dalam paparannya.
Pertanyaan Besar: Reformasi Polri Mau Dibawa ke Mana?
Menurut Fernando, hal utama yang harus dipastikan adalah kejelasan tujuan akhir dari reformasi Polri. Ia menyoroti perbedaan pandangan sejumlah pihak yang menginginkan Polri berada di bawah kementerian, didirikan kementerian baru, atau tetap bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
“Tujuan akhirnya apa? Kita menginginkan Polri ini seperti apa?” ujarnya.
Ia mengingatkan, pembentukan tim reformasi harus berjalan sesuai mandat, bukan melebar ke urusan yang tidak relevan.
Fernando mencontohkan adanya potensi penyimpangan peran tim reformasi yang justru ikut memediasi perkara hukum tertentu.
“Ini sebenarnya bukan tugas utama mereka. Jangan sampai tim reformasi melenceng hanya untuk mencari panggung atau popularitas,” tegasnya.
Inventarisasi Masalah Harus Jadi Prioritas
Fernando menekankan pentingnya tim reformasi mengidentifikasi persoalan akar rumput yang menjadi sumber keluhan masyarakat.
“Setelah menginventarisir persoalan, barulah dicari solusi, siapa yang bisa melaksanakan, dan bagaimana penyelesaiannya,” jelasnya.
Ia juga meminta Presiden Prabowo tidak hanya bergantung pada satu tim reformasi saja, tetapi tetap membuka ruang pendapat publik secara luas agar keputusan yang diambil lebih objektif.
Media Sosial: Senjata Bermata Dua untuk Citra Polri
Dalam era digital, Fernando menilai media sosial menjadi faktor penentu naik-turunnya kepercayaan publik terhadap institusi mana pun, termasuk Polri.
“Media sosial ini hampir sama seperti pisau bermata dua. Sangat mudah dimanfaatkan untuk membangun opini negatif terhadap sebuah institusi,” katanya.
Fernando meminta Polri aktif melakukan belanja persoalan dari media sosial untuk melihat kritik dan aspirasi masyarakat secara langsung.
“Walaupun survei Rumah Politik Indonesia menunjukkan 79,8 persen masyarakat puas dengan Polri, masih ada puluhan persen yang belum puas. Jangan sampai kelompok yang tidak puas ini makin bertambah,” ujarnya.
Ia menyoroti kecenderungan masyarakat Indonesia yang masih mudah menyebarkan informasi tanpa verifikasi.
“Banyak yang belum cerdas menerima informasi. Judul bagus, langsung di-share. Ini berbahaya karena ikut memperbesar sentimen negatif terhadap Polri,” tuturnya.
Harapan untuk Polri ke Depan
Fernando menutup dengan menegaskan bahwa reformasi Polri harus kembali pada tujuan utamanya, yakni memperkuat kemampuan Polri dalam mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat.
“Kita harus menyamakan persepsi. Reformasi jangan sampai dipakai untuk tujuan-tujuan lain yang melemahkan Polri atau memfasilitasi kepentingan bisnis ilegal,” tegasnya.
Diskusi publik ini juga menghadirkan Sekjen JARI 98 Ferry Supriyadi serta politikus dan advokat Ruhut Sitompul, dengan moderator Abdullah Kelrey.
