Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jabar
Meski telah dibubarkan oleh pemerintah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tetap menjadi sorotan dalam diskursus politik dan ideologi Islam di Indonesia.
Sebagai organisasi yang bergerak layaknya partai politik, HTI menjalankan hampir semua fungsi partai: rekrutmen, kaderisasi, edukasi, artikulasi, agregasi, dan komunikasi politik. Satu-satunya fungsi yang tidak mereka jalankan adalah legislasi, karena HTI tidak memiliki wakil di parlemen dan menolak sistem demokrasi.
Salah satu pilar utama yang membentuk karakter ideologis HTI adalah konsep _tabanni_ (adopsi). Dalam struktur internal HT, _tabanni_ bukan sekadar adopsi gagasan, melainkan penyeragaman total terhadap ide, pendapat, dan hukum fikih yang telah ditetapkan oleh Amir Hizbut Tahrir. Setiap anggota wajib menjadikan ide-ide HT sebagai pendapat pribadi, tanpa ruang untuk mempertanyakan validitasnya. Benar atau salah, kuat atau lemah, semua harus diterima bulat-bulat.
Bahkan sebelum resmi menjadi anggota, calon kader HTI harus mengucapkan sumpah (qassam) yang menyatakan kesetiaan penuh terhadap pendapat, konstitusi, dan pemikiran Hizbut Tahrir. Salah satu kutipan sumpah tersebut berbunyi: _mutabaniiyan ara’a Hizbut Tahrir hadza qaula wa ‘amalan, wa afkarahu wa dusturahu_, yang berarti men-tabanni pendapat, ide, dan konstitusi Hizbut Tahrir dalam perkataan dan perbuatan.
Ide-ide yang di-tabanni disebarkan melalui tiga jalur utama: kitab-kitab pembinaan dalam halaqah, selebaran politik dan fiqih yang distempel resmi HT, serta nasyrah soal-jawab yang dikeluarkan langsung oleh Amir Hizbut Tahrir. Semua ini menjadi alat pembingkaian ideologi yang dirancang untuk membentuk kesatuan internal.
Namun, di balik upaya menyatukan barisan, konsep ini justru menjadi bumerang. Penyeragaman ide membuat para aktivis HTI kesulitan berinteraksi dengan masyarakat yang majemuk.
Mereka tidak terbiasa dengan perbedaan pendapat dan cenderung menghindari diskusi ilmiah yang rasional, terbuka, dan berbasis data. Akibatnya, mereka menjadi lambat dalam beradaptasi dengan lingkungan sosial yang terus berubah.
Padahal, keberhasilan perjuangan HTI untuk mendirikan khilafah sangat bergantung pada dukungan masyarakat luas. Dalam masyarakat demokratis yang komunikatif dan informatif, keberhasilan ideologi ditentukan oleh kemampuan berdialog, beradaptasi, dan membangun simpati. HTI justru gagal memenuhi etika diskursus publik seperti yang diajukan oleh filsuf Jürgen Habermas dalam kerangka demokrasi deliberatif.
Ironisnya, meski tabanni dimaksudkan untuk menjaga kesatuan internal, perpecahan tetap saja terjadi. Penyeragaman yang dilembagakan tanpa kesadaran kritis hanya menghasilkan kesetiaan semu, mudah goyah saat berhadapan dengan benturan pemikiran di luar. Di internal, HTI tampak solid. Tapi di eksternal, dukungan masyarakat sangat lemah.
Dengan kata lain, tabanni menciptakan semacam “soliditas palsu” di dalam tubuh organisasi. Ketika berhadapan dengan benturan pemikiran di tengah masyarakat, kesatuan internal yang dibangun di atas konsep ini mudah runtuh. Hal ini juga menjadi faktor penghambat bagi masyarakat demokratis untuk menerima ide-ide HTI, karena organisasi ini cenderung menutup diri dari dialog kritis untuk menguji validitas pemikiran mereka.
Pada akhirnya, meskipun HTI sukses dalam melakukan pembingkaian ide di internal, strategi ini gagal total ketika diterapkan pada masyarakat yang terbuka dan kritis. Inilah mengapa, meskipun di dalam seolah-olah terlihat kuat, HTI tidak pernah mendapat dukungan masif dari masyarakat. Impian mereka untuk mewujudkan khilafah tetap menjadi angan yang jauh dari kenyataan.