Jakarta – Setelah beberapa kali ditolaknya usulan pemberian gelar pahlawan nasional untuk penguasa Orde Baru Soeharto sejak tahun 2010. sekarang dengan pencabutan TAP MPR No. XI/MPR/1998 yang menyebutkan nama Soeharto dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, wacana pemberian gelar pahlawan nasional muncul kembali. Apalagi Prabowo Subianto dalam kampanya presiden tahun 2014 pernah berjanji untuk memberikan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto bila terpilih sebagai Presiden.

Ketua MPR, Bambang Soesatyo, tokoh Golkar, menjelaskan bahwa pencabutan TAP MPR tersebut merupakan langkah lanjutan dari surat Fraksi Golkar pada 18 September 2024. Dengan demikian jelas bahwa Partai Golkarlah yang paling berkepentingan dalam upaya pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto, mantan penguasa Orde Baru. Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Idrus Marham menanggapi masyarakat sipil yang menolak pemberian gelar tersebut menyatakan: ” Kami tidak mau tahu itu. Yang kami tahu, Partai Golkar tidak akan mundur sedikitpun memperjuangkan Pak Harto sebagai pahlawan nasional.”

Pantaskah Soeharto menyandang gelar pahlawan nasional? Masyarakat sipil, termasuk POKJA PETISI-50, melihat dari rekam jejaknya dinilai Soeharto tidak layak untuk memperoleh gelar pahlawan nasional. Pertama, Soeharto dinilai bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru. Menurut Ketua Sub Pemantauan Komnas HAM tahun 2004, M. Billah, terdapat paling tidak lima kasus pelanggaran HAM berat selama periode Orde Baru yaitu kasus Pulau Buru (1965-1966), Penembakan Misterius (1981-1985), Peristiwa Tanjung Priok (1984-1987), Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh dan Peristiwa 27 Juli 1996.

Kedua, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1993-1998 saja terdapat setidaknya 72 Keputusan Presiden (Keppres) dari 528 Keppres di masa pemerintahan Soeharto yang dikeluarkan untuk memberi kemudahan serta keuntungan bagi Soeharto, keluarga dan kroninya. Sedangkan ICW menunjukkan sedikitnya terdapat 30

">

Keppres bermuatan praktik KKN, antara lain:

1. Dari tahun 1993 sampai 1996 telah dikeluarkan 18 Keppres yang berkaitan dengan jalan tol seperti mengatur tarif jalan tol dan jenis kendaraan. Sebagian besar jalan tol ini ternyata dikelola oleh Sri Hardiyanti Rukmana (Tutut).

2. Keppres No. 577 Tahun 1993 tentang Pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut PPN serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Kendaraan Sedan Proton yang didatangkan oleh Tutut dari Malaysia untuk armada taksinya.

3. Keppres nomor 42 tahun 1996 untuk mendukung proyek MOBNAS milik Hutomo Mandala Putra yang memberikan kemudahan Bea Masuk atas impor komponen yang masih diperlukan.

4. Keppres No. 20 tahun 1992 tentang Pengendalian Tata Niaga Cengkeh yang dimonopoli oleh Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dikendalikan oleh Tommy Suharto. BPPC berhasil meraup dana puluhan milyar dari para petani cengkeh. Diketahui pula bahwa BPPC ini ternyata menyalah-gunakan dana kredit likuiditas Bank Indonesia sebesar 175 milyar rupiah.

5. Keppres No. 31 tahun 1997 tentang Pembangunan Kilang Migas oleh Swasta yang dimiliki oleh Bob Hasan, salah satu kroni utama Soeharto.

6. Keppres No. 3 tahun 1996 dan No. 21 tahun 1996 yang mengalirkan dana Kredit Usaha Keluarga Sejahtera ke rekening Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang diketuai oleh Soeharto.

7. Keppres No. 90 tahun 1995 yang menghimbau pengusaha untuk menyumbang 2% dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang diketuai Soeharto.

Sebagai hasil dari praktik KKN-nya Soeharto, pada tahun 2007 Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dari Bank Dunia menempatkan Soeharto di peringkat teratas dari 5 (lima) orang pemimpin dunia yang paling korup sebagai berikut:

1. Soeharto (Indonesia): USD 15 – 35 miliar
2. Ferdinand Marcos (Filipina): USD 10 miliar
3. Mobutu Sese Seko (Kongo): USD 5 miliar
4. Akberto Fujimori (Peru): USD 600 juta
5. Jean Claude Duvalier (Haiti):USD 300 – 800 juta

Ketiga, sistem demokrasi selama masa orde baru secara resmi disebut Demokrasi Pancasila. Dalam praktiknya Demokrasi Pancasila ala Orde Baru ini ditandai oleh sistem yang sangat sentralistik, otoriter, dan mengontrol kebebasan politik dan pers, serta pelanggaran hak asasi manusia. Pemilu diadakan, tetapi kualitasnya rendah karena tidak demokratis. Pemilihan Presiden juga dilakukan oleh MPR, tetapi dengan hanya satu orang calon yang dipilih yaitu Soeharto.

Dengan rekam jejak seperti di atas jelaslah bahwa Soeharto tidak layak untuk dijadikan Pahlawan Nasional. Dukungan Partai Golkar yang kukuh ingin menjadikan Soeharto Pahlawan Nasional jelas menunjukkan bahwa ternyata tidak ada apa yang disebut sebagai “Golkar Baru” dan “Paradigma Baru” sebagaimana sering menjadi slogan pimpinan Golkar pada Reformasi 1998. Bagaimanapun juga Soeharto adalah Ketua Dewan Pembina Golkar pada masa Orde Baru.

Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo sendiri pada Januari 2023 sudah mengakui bahwa selama ini telah terjadi 12 (dua belas) peristiwa pelanggaran HAM Berat, dimana 7 (tujuh) diantaranya terjadi pada masa Orde Baru. Dengan demikian bilamana Soeharto menjadi Pahlawan Nasional, maka berbagai pelanggaran HAM pada era Orde Baru tidak lagi disebut sebagai pelanggaran HAM, tetapi bisa disebut sebagai kebenaran oleh rezim saat itu. Menurut Guntur Romli, politikus PDI-Perjuangan, otomatis mahasiswa 1998 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan Soeharto akan disebut penjahat dan pengkhianat. Demikian juga aktivis-aktivis mahasiswa yang ditahan tanpa proses pengadilan pasca peristiwa MALARI 1974 dan gerakan 1997/1978 dan lain-lain akan dianggap sebagai penjahat dan pengkhianat.

Demikianlah kami menghimbau jangan sampai kesepakatan bangsa pada saat reformasi 1998 dinilai ulang berdasarkan kondisi sosial politik 25 (dua puluh lima) tahun kemudian, khususnya karena mantan menantu Soeharto menjabat sebagai Presiden. Hampir serupa dengan kondisi di Filipina, ketika Ferdinand Marcor Jr (Bong-bong) menjadi Presiden, dosa-dosa masa lalu Presiden Marcos mulai dihapus.

KELOMPOK KERJA PETISI-50

Judilheri Justam