Jakarta – Peneliti dari Center for Indonesian Economics (CIE), Muhammad Chaerul menanggapi kritis desakan sepihak dari Asosiasi Pengusaha Pemula Sukses Indonesia (ASOPPSI) yang meminta Presiden Prabowo Subianto mengevaluasi perjanjian perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat. Ia menyebut, narasi yang menuduh kebijakan tarif sebagai bentuk “ketidakadilan” adalah prematur, tidak memahami konteks geopolitik, dan keliru secara ekonomi.

Menurut Chaerul, perjanjian perdagangan dengan AS—termasuk soal tarif—tidak bisa dilihat secara hitam-putih.

“Justru kebijakan Presiden Prabowo sangat strategis dalam jangka panjang. Pembebasan tarif untuk produk AS bukan kelemahan, tapi bagian dari diplomasi dagang dua arah yang membuka jalan bagi ekspor Indonesia ke pasar global,” tegasnya di Jakarta, hari ini.

Chaerul menjelaskan bahwa meskipun produk Indonesia dikenakan tarif 19% di AS, ekspor Indonesia ke AS terus tumbuh terutama untuk sektor strategis seperti tekstil, furnitur, hingga teknologi agrikultur. Ini menunjukkan bahwa fokus saat ini bukan soal ‘tarif tinggi vs rendah’, tapi daya saing produk dan kemudahan ekspor.

">

“Kalau UMKM ingin bersaing, yang dibutuhkan bukan sekadar perlindungan tarif, tapi penguatan kualitas, branding, dan logistik ekspor. Jangan jadikan AS sebagai kambing hitam hanya karena kompetisi global makin terbuka,” tambahnya.

Ia menilai desakan ASOPPSI yang meminta renegosiasi tarif terlalu emosional dan bisa berbahaya jika ditindaklanjuti secara gegabah.

“Renegosiasi bukan soal minta diskon sepihak. Kita pun harus memberi insentif kepada mitra strategis agar mau membuka diri terhadap produk kita,” ujarnya.

Terkait tuduhan bahwa kebijakan ini merupakan warisan dari pertemuan Prabowo–Donald Trump, Chaerul menyebut itu tidak relevan.

“Hubungan dagang bilateral tidak dibentuk dalam satu kali pertemuan. Pemerintah pasti menghitung untung-ruginya. Dan sejauh ini, ekspor kita tidak melemah. Justru meningkat, karena kita membuka diri sambil memperkuat produk dalam negeri,” katanya.

Terakhir, Chaerul menekankan bahwa melindungi UMKM bukan berarti memagari pasar dengan tarif tinggi, tapi dengan membangun ekosistem inovatif dan akses pasar yang luas.

“Pemerintahan Prabowo tahu betul bahwa ekonomi nasional hanya bisa tumbuh jika UMKM naik kelas, bukan dikurung dalam proteksi,” pungkasnya.