Bandung – Kongres ke-22 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), diselenggarakan di Bandung pada 15-18 Juli 2025 ini, dari kubu Immanuel.
Diketahui GMNI terbelah menjadi dua, ada kubu Arjuna dan kubu Immanuel.
Jelang Kongres, GMNI Bandung justru menolak digelarnya Kongres GMNI di Bandung dalam waktu dekat ini.
Perwakilan dari mayoritas GMNI Bandung, Halim Mulia, menilai, Kota Bandung sebagai kota historis perjuangan, tidak layak dijadikan tempat pelarian elit organisasi yang gagal menjalankan mandat ideologi.
Jangan jadikan kota yang memiliki nilai-nilai historis ini, sebagai tempat pencucian dosa kolektif bagi para elit gagal serta pecundang sejarah yang menjadikan GMNI sebagai alat dagang politik. Ketika ini dipaksakan, maka terjadi penghinaan terhadap nilai-nilai ideologis, intelektual, dan etika gerakan mahasiswa yang dijunjung tinggi di Bandung,” katanya.
Dia menjelaskan, GmnI yang hari ini tengah terpecah, tercerai, dan mengalami krisis legitimasi akibat dualisme kepemimpinan DPP yang tidak kunjung terselesaikan sejak Kongres Ambon 2019.
“Alasan lainnya, karena struktur kepengurusan DPP GMNI yang akan menyelenggarakan kongres ini, yaitu Imanuel-Sujahri, gagal menyelamatkan organisasi yang membuat struktur tersebut tidak memiliki legitimasi untuk menyelenggarakan kongres GmnI,” kata dia.
Alih-alih menyembuhkan luka, menurut Ketua Bakercab GMNI Bandung itu, justru memaksakan pelaksanaan kongres yang dapat memperburuk kondisi organisasi.
“Kongres ini bukan jalan keluar, tapi justru bentuk pemaksaan kehendak oleh elit organisasi yang ingin mengamankan kekuasaan di atas penderitaan dan kebingungan kader,” tegas Halim Mulia.
Karenanya, Halim dan mayoritas kader GMNI di Bandung menolak dengan keras rencana Kongres ke-22 GMNI oleh DPP Imanuel-Sujahri di Kota Bandung.
“Menyerukan boikot nasional terhadap kegiatan organisasi yang tidak sah secara ideologis dan struktural. Mendorong rekonstruksi total organisasi melalui konsolidasi ideologis berbasis kader akar rumput,” katanya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Mataram, Satya Ubhaya Sakti, menyatakan sikap tegas terhadap kondisi dualisme kepemimpinan yang telah membelah GMNI selama lebih dari lima tahun pasca Kongres Ambon 2019. Ia menegaskan bahwa tahun 2025 harus menjadi momentum persatuan untuk menyelamatkan arah perjuangan organisasi.
“Dualisme adalah ancaman serius bagi masa depan GMNI. Sudah cukup energi kita terkuras oleh konflik internal. Saatnya kita bersatu dan kembali ke garis perjuangan yang sejati,” ujar Satya.