Jakarta – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang membahas revisi Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ada sejumlah pasal yang menjadi sorotan dari kalangan kelompok masyarakat sipil dalam revisi ini.

DPR sendiri mengklaim telah menyerap aspirasi publik. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman membantah, draf RUU KUHAP memperkuat kewenangan Polri. Menurutnya, status Polri sebagai penyidik utama hanya ditegaskan secara redaksional dalam draf revisi.

Namun, bagi Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Maria Silvy menilai, penetapan Polri sebagai penyidik utama dalam semua penyidikan tindak pidana sangat berbahaya. Menurut dia, status penyidik utama akan berdampak pada mekanisme pembuktian.

Selanjutnya, Komisi III DPR menyepakati, maksimal penangkapan oleh aparat penegak hukum adalah 1X24 jam. Kemudian Komisi III DPR dan pemerintah juga sepakat mencabut Pasal 293 ayat 3 yang sebelumnya membatasi Mahkamah Agung untuk tidak menjatuhkan pidana lebih berat dari putusan pengadilan sebelumnya.

">

Disisi lain, bagi Koalisi menyebut revisi DPR cenderung otoriter, memperluas kewenangan aparat tanpa pengawasan yang efektif, dan mengecilkan peran warga negara dalam sistem peradilan pidana. Draf tandingan itu disebut sebagai “kontrapropaganda hukum” terhadap legislasi yang mereka anggap bermasalah.