JAKARTA – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Ahmad Muzani, membantah kabar rencana perubahan masa jabatan Presiden Indonesia yang disebut-sebut akan diperpanjang menjadi delapan tahun satu periode, dari sebelumnya lima tahun dengan maksimal dua periode.
Muzani menegaskan isu tersebut tidak pernah dibahas di MPR, baik dalam agenda resmi maupun dalam pembahasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
“Enggak ada pembahasan, enggak ada pemikiran, di MPR enggak ada pandangan, pemikiran, enggak ada sama sekali,” tegasnya dilansir dari Kompas.com di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Politikus Partai Gerindra itu menekankan bahwa sepanjang masa kepemimpinannya, MPR belum pernah sekalipun membahas perubahan periodisasi maupun masa jabatan presiden.
“Itu jangan mengembangkan sesuatu yang dalam pikiran kami saja enggak terpikir sama sekali. Itu asli sesuatu yang mengada-ada, enggak ada sama sekali,” tekannya.
Isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi delapan tahun pertama kali mencuat melalui laporan Reformasi Weekly Review edisi 10 Maret 2025 yang ditulis analis politik Kevin O’Rourke.
Dalam laporannya, O’Rourke mengeklaim memperoleh informasi bahwa Presiden Prabowo Subianto akan meminta dukungan partai-partai di DPR untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi satu periode delapan tahun.
Jika hal itu terjadi, maka Pilpres 2029 tidak akan digelar dan pemilu presiden baru berlangsung pada 2032.
Rencana itu disebut-sebut akan langsung berlaku untuk periode kepemimpinan Prabowo, sehingga masa jabatannya bisa berlanjut hingga 2032.
Maraknya kasus hukum bernuansa politik yang ditangani oleh KPK dan Kejaksaan Agung di bawah kendali pemerintah disebut-sebut, menurut klaim O’Rourke, akan membuat partai-partai di DPR patuh pada presiden.
Kondisi ini, menurutnya, membuka kemungkinan delapan parpol itu mendukung amandemen konstitusi, meskipun langkah tersebut hampir pasti memicu reaksi negatif dari masyarakat.
Jika wacana ini berjalan di tengah situasi ekonomi yang memburuk, besar kemungkinan dukungan masyarakat terhadap demonstrasi akan meningkat. Potensi kerusuhan dinilai bisa berdampak buruk bagi citra internasional Indonesia.
Adapun berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diajukan jika didukung oleh minimal 1/3 dari anggota MPR.
Saat ini MPR terdiri dari 732 anggota, yakni 580 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPR) dan 152 senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Sidang amandemen UUD harus dihadiri minimal 2/3 anggota MPR.
Putusan amandemen hanya bisa diambil dengan persetujuan 50 persen + 1 anggota dari seluruh anggota MPR.