Oleh: Achmad Nur Hidayat – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tertanggal 1 Oktober 2025 mengajak ASN, siswa, dan warga ikut Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu)—patungan Rp1.000 per hari—untuk membantu kebutuhan darurat dan mendesak di pendidikan dan kesehatan, dengan semangat gotong royong “silih asah, silih asih, silih asuh.”
Rencananya Dana tersenut dikumpulkan lewat rekening khusus pada Bank BJB di tiap instansi/sekolah/RW–RT. Tindakan ini dilihat dari sudut padang kemanusian mungkin tepat, namun dalam pandangan kebijakan publik, ini tindakan yang keliru dan salah arah.
Pertanyaan publiknya jelas: apakah imbauan “seribu rupiah per hari” untuk membantu akses pendidikan dan kesehatan adalah langkah yang tepat?

Masalah yang ingin dipecahkan sebenarnya sederhana: ada kebutuhan kecil namun mendesak yang sering tak tertangani cepat oleh anggaran pemerintah—biaya transport rujukan, obat esensial, seragam sederhana, atau dokumen sekolah.
Ide gotong royong mencoba menutup celah itu. Tetapi kebijakan publik tidak cukup dinilai dari niat baik; yang menentukan adalah desain, tata kelola, dan dampaknya pada keadilan layanan.
Di sinilah kita perlu jernih: gerakan seribu sehari bisa membantu sebagai jembatan darurat, namun tidak boleh menggantikan kewajiban negara untuk memastikan hak dasar warga terpenuhi.
Apakah Imbauan Seribu/Hari Tepat Secara Kebijakan?
Secara tujuan, imbauan ini menyasar “biaya kecil yang berdampak besar”. Analogi yang mudah: anggaran pemerintah adalah mesin utama mobil—kuat, tetapi kadang lambat.
Seribu sehari adalah ban serep dan kotak P3K—berguna saat darurat. Analogi ini menolong kita memahami manfaatnya.
Namun analogi yang sama juga memberi peringatan: bila pengemudi terlalu nyaman dengan ban serep, ia lupa memperbaiki ban utama yang aus.
Dengan kata lain, gotong royong boleh, tapi jangan menutupi masalah utama—perencanaan dan penyaluran anggaran yang belum cukup cepat untuk kebutuhan mendesak.
Selain itu, kita harus menjaga agar “sukarela” benar-benar sukarela. Dalam budaya birokrasi dan sekolah yang hierarkis, imbauan sering berubah menjadi kewajiban sosial terselubung.
ASN takut dinilai dari partisipasi, orang tua sungkan bila tak ikut, siswa bisa merasa tertekan. Beban “seribu” pun bersifat datar, sehingga lebih berat secara proporsi bagi keluarga miskin dibanding yang berpenghasilan tetap.
Kebijakan publik yang adil seharusnya mengandalkan pembiayaan progresif lewat instrumen resmi, bukan iuran harian yang berisiko regresif.
Apakah Ini Tanda Tata Kelola Tidak Berjalan?
Gerakan ini adalah tanda ada celah layanan di lapangan, terutama pada biaya kecil yang butuh kecepatan.
Menyebutnya bukti kegagalan total tidak tepat. Namun menjadikannya solusi utama juga keliru.
Jika pemerintah terlalu bergantung pada donasi harian, dorongan untuk memperbaiki mesin anggaran akan melemah.
Di sisi lain, desain rekening mikro di banyak unit berpotensi memecah pengelolaan dana menjadi potongan-potongan kecil yang sukar diawasi.
Unit yang “kaya sosial” akan mengumpulkan lebih banyak, sementara unit terpencil tertinggal.
Akhirnya, akses layanan ditentukan oleh “seberapa ramai jaringan sosial” sebuah sekolah atau puskesmas, bukan oleh kebutuhan yang paling mendesak.
Ini berlawanan dengan prinsip kesetaraan layanan publik.
Kebijakan Apa yang Seharusnya Diambil?
Solusinya ada pada perbaikan mesin, bukan pada memperbanyak ban serep.
Pertama, buat dana kontinjensi mikro di dinas pendidikan dan kesehatan dengan aturan yang sederhana, bukti yang ringan, dan target waktu pencairan yang jelas, misalnya 1–3 hari.
Ini memungkinkan kebutuhan kecil ditangani cepat tanpa melewati prosedur rumit.
Kedua, sempurnakan skema BOS di sekolah dan lengkapi JKN dengan dukungan biaya non-medis seperti transportasi dan nutrisi pendamping, karena hambatan akses sering justru ada di biaya semacam ini.
Ketiga, bangun single window—satu pintu pengajuan dan verifikasi cepat—agar warga tidak berputar-putar.
Keempat, jaga privasi dan martabat penerima bantuan: tampilkan laporan agregat yang transparan tanpa membuka identitas.
Kelima, bila gotong royong dipertahankan, pastikan sifatnya murni sukarela, pisahkan peran bendahara dan verifikator di setiap unit, dan lakukan audit berkala oleh inspektorat agar ada pagar yang jelas.
Dengan arsitektur seperti ini, gotong royong tetap hidup sebagai pelengkap, bukan sebagai pengganti.
Ia bekerja seperti jembatan yang menghubungkan kecepatan warga dengan sistem negara yang rapi.
Ukuran keberhasilan bukan jumlah unggahan di media sosial, melainkan seberapa cepat anak kembali ke sekolah karena biaya kecil tertutup, dan seberapa banyak rujukan kesehatan yang berhasil karena ongkos non-medis dibantu.
Bagaimana Menilai Kebijakan Gubernur Sejauh Ini?
Dalam perdebatan soal patungan “seribu rupiah per hari”, ada dua peran yang tidak boleh tertukar: solidaritas warga dan kewajiban negara.
Gotong royong sangat berharga untuk menutup celah-celah darurat yang kecil namun mendesak.
Tetapi hak atas pendidikan dan kesehatan tetap tanggung jawab negara melalui anggaran resmi yang transparan dan bisa diaudit.
Posisi saya tegas: gerakan seribu sehari dapat dijadikan sebagai penolong saat darurat, namun sepenuhnya dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau komunitas independen—bukan oleh pemerintah daerah Jawa Barat.
Pemda Jabar tidak perlu membuka rekening-rekening mikro, mengoordinasikan penggalangan, atau memantau partisipasi harian.
Tugas negara justru membenahi mesin utama: mempercepat BOS dan bantuan pendidikan, menyempurnakan dukungan nonmedis pendamping JKN, menyediakan pos kontinjensi mikro dalam APBD dengan tenggat pencairan jelas, menyederhanakan prosedur, melindungi data pribadi, dan memastikan pengawasan melalui kanal belanja resmi yang dapat diaudit.
Dengan pembagian peran yang tegas antara pemerintah dan lembaga swadaya publik maka, kita memperoleh empat hal penting:
Pertama, mencegah “sukarela” berubah menjadi tekanan sosial terselubung;
Kedua, menghindari fragmentasi off-budget dan beban administrasi di sekolah/puskesmas;
Ketiga, menjaga kesetaraan layanan antarlokasi (tidak tergantung keramaian media sosial atau jejaring donatur setempat);
Keempat menutup ruang korupsi kecil “biaya administrasi” abu-abu, serta pamer data penerima yang melanggar martabat.
Pemerintah cukup menetapkan rambu umum: larangan pemaksaan di lingkungan sekolah/ASN, standar perlindungan data penerima, dan kepatuhan perpajakan/akuntansi bagi donasi yang dikelola LSM.
Di luar itu, negara menyediakan saluran rujukan yang jelas agar LSM dapat bergerak cepat ketika ada kasus darurat—tanpa menggantikan kewajiban negara untuk membiayai hak dasar.
Ringkasnya: gotong royong tetap jalan di ranah masyarakat sipil, sementara negara fokus memperbaiki mesin agar layanan publik bekerja cepat, adil, dan akuntabel—bukan ikut memegang kotak donasi.