Oleh :Ayik Heriansyah

Tahun lalu saya pernah membuat artikel panjang tentang UU Terorisme dengan Uu KUHP yang baru yang mulai berlaku 2026 dalam kaitannya dengan masalah terorisme.

HTI sulit dijerat dengan UU Terorisme sebab; _Pertama_, secara kelembagaan HTI sudah tidak ada. HTI bukan lagi objek hukum formal. Menghukum HTI artinya menghukum sesuatu yang tidak ada. _Kedua_, belum ada aksi teror yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang berafiliasi dengan HTI.

Peluang menghukum HTI terbuka setelah ada pasal 188 KHUP yang baru tentang larangan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Sebutlah khilafah. Dengan pasal tersebut aktivis HTI yang menyebarkan paham khilafah dapat dipidana.

">

Namun demikian, HTI tidak “bodoh”. Mereka tidak buta hukum. Ada beberapa pakar hukum anggota HTI seperti Prof. Suteki, Ahmad Khozinuddin, Chandra Purna Irawan, dll yang tergabung ke dalam LBH Pelita Umat.

Jika kata “khilafah” yang dituntut oleh penegak hukum, maka, kemungkinan pasal 188 dapat diterapkan. Meskipun masih ada celah bagi HTI untuk membantah karena pasal tersebut mensyaratkan timbulnya kerusuhan. “Kalau tidak menimbulkan rusuhan kan tidak apa-apa?!”, begitu kira-kira cara mereka mengelak.

Pada dasarnya HTI tetap tidak mau berurusan dengan polisi. Mereka menghindar dari jeratan hukum pasal 188 KUHP yang baru. Maka dari itu mereka mengurangi penggunaan kata “khilafah”, lalu menggantikannya dengan istilah “islam kaffah” dan atau “syariah kaffah.” Dua istilah yang sedang dibiasakan diucapkan oleh aktivis HTI.

Lalu, apakah “islam kaffah” dan atau “syariah kaffah” termasuk paham yang bertentangan dengan Pancasila. Nah, di sini lihainya HTI bermain narasi. Bagaimana mengatasinya? Saya juga belum tau.😀

Temukan juga kami di Google News.