Ton Abdillah Has
Aksi demontrasi yang disertai tindakan anarkisme massa pada akhir Agustus 2025 lalu membuka mata kita bahwa bangsa ini memerlukan perbaikan radikal. Kusut yang belum terurai di tengah beban ekonomi masyarakat, yang dibumbui perilaku tak peka sejumlah elit politik, akhirnya memicu amarah publik. Meski sayangnya, protes ini ditunggangi kelompok yang gelisah dan marah akibat akselerasi rezim Prabowo dalam menata ulang ekonomi, politik dan hukum.
Sejak dilantik menjadi Presiden pada Oktober 2024 lalu, Prabowo memang mewarisi kerusakan yang demikian besar. Ketimpangan ekonomi yang menganga lebar, kemiskinan, pengangguran, kerusakan hukum, merajalelanya korupsi, kebocoran kekayaan alam, serta rusaknya lingkungan hidup hanyalah sekelumit diantara akumulasi persoalan.
Situasi ini nampaknya yang mendorong rezim Prabowo langsung menggebrak lewat sejumlah langkah berani. Penghematan anggaran ekstrim, pemberantasan korupsi besar-besaran yang dipimpin Kejaksaan Agung ditengah keroposnya peran KPK dan kepolisian, pembentukan BPI Danantara guna optimalisasi BUMN dan investasi ekonomi, penataan ulang sektor kehutanan dan tambang yang ditandai penyitaan jutaan hektar lahan ilegal, merupakan diantaranya.

Termasuk pula kebijakan “agak tertutup” seperti evaluasi ulang atau penghentian konsesi pada sektor tambang, perkebunan dan kehutanan, energi, serta proyek strategis yang dipandang kurang memberi faedah bagi masyarakat luas dan beresiko bagi lingkungan atau membebani anggaran, termasuk dibantarkannya pembangunan IKN.
Langkah-langkah berani ini tentunya juga menimbulkan konsekuensi. Upaya penghematan anggaran misalnya, telah menambah tekanan ekonomi masyarakat mengingat besarnya pengaruh APBN pada pertumbuhan ekonomi. Demikian pula langkah pengetatan hutang pemerintah serta dicabutnya deviden BUMN dari penerimaan negara membuat Sri Mulyani yang tak kreatif memaksakan perluasan sumber penerimaan pajak yang membebani masyarakat.
Konsekuensi serupa juga dirasakan elit politik dan ekonomi, dimana joget-joget anggota DPR yang dituduh sebagai ekspresi atas kenaikan tunjangan perumahan para legislator, nampaknya hanya sekedar ekspresi kelegaan akibat banyaknya sumber pemasukan yang terpangkas. Suasana kebatinan ini juga dirasakan hampir semua lini penyelenggara negara, dari birokrat hingga legislator daerah, akibat kehilangan zona nyaman yang sejak lama mereka nikmati.
Namun yang paling dramatis adalah kasus-kasus besar yang dibongkar rezim Prabowo, mega korupsi Pertamina misalnya, yang hanya sebagian aromanya tercium publik, seperti pengawalan prajurit TNI pada kantor dan sejumlah elit kejaksaan. Pembongkaran mafia di Pertamina inilah yang ditengarai membuat gelisah elit lama yang sebagiannya masih bercokol di pemerintahan Prabowo. Kolaborasi elit lama dan mafia migas ini pula yang diyakini menjadi biang kerusuhan yang mendompleng protes rakyat pada akhir Agustus 2025 lalu.
Perbaikan Menyeluruh dan Mendasar
Gejolak akhir Agustus lalu memberi beberapa catatan substansial. Pertama, gejolak tersebut menjadi pengingat bagi rezim Prabowo, bahwa rakyat juga memerlukan solusi segera meski keselamatan jangka panjang adalah tujuan utama. Misalnya, penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan harus berjalan paralel dengan agenda pemberantasan korupsi dan penghematan anggaran..
Kedua, upaya Prabowo menciptakan persatuan nasional tidak harus membuat Prabowo mempertahankan hubungan dengan elit busuk yang telah mewarisi kekacauan ekonomi dan politik. Justru, protes rakyat atas keadaan harus menjadi pendorong bagi upaya bersih-bersih barisan dan membangun koalisi bersama rakyat.
Ketiga, seluruh langkah dan gebrakan yang dilakukan Prabowo dalam setahun kurang ini hanyalah langkah awal bagi pertolongan darurat. Penyembuhan menyeluruh bangsa ini memerlukan perbaikan sistem hingga perombakan struktur ekonomi politik yang terlanjur rusak.
Dalam isu pemilu misalnya, beralihnya sistem pemilu proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka sejak pemilu 2009, diyakini menjadi penyebab kemerosotan kualitas parlemen. Sistem pemilu super liberal ini lah yang membuat kapasitas dan modal sosial seketika digantikan modal uang dan popularitas sebagai variabel keterpilihan dalam pemilu legislatif.
Demikian pula pemberlakuan otonomi daerah berbasis kabupaten/kota dan hadirnya rezim pilkada langsung yang membuat korupsi merajalela dan munculnya raja-raja kecil di daerah. Belakangan, satu persatu kebijakan yang menjadi pilar otonomi daerah dicabut dan dikembalikan ke pusat namun pelaksanaan pilkada langsung terus dipertahankan. Akhirnya, mahalnya ongkos pilkada langsung hanya bisa ditebus dengan korupsi APBD setelah korupsi kebijakan semakin sulit dilakukan.
Demikian pula semangat Prabowo dalam isu sumber daya alam. Perubahan regulasi demikian dibutuhkan, agar kebocoran dan perampokan sumber daya alam bisa dihentikan melalui revisi UU Migas hingga UU Sumber Daya Air, sejak UU Penanaman Modal Asing hingga UU Perkebunan.
Konsepsi ekonomi jalan tengah yang dikemukakan Prabowo, sebagai sintesa baru atas kegagalan ekonomi neoliberal yang gagal memberikan kesejahteraan pada rakyat Indonesia tentu tidak akan menemukan landasan yang kompatibel jika regulasi yang berlalu masih meminggirkan peran negara dan memprioritaskan pasar bebas, serta dijalankan ekonom neoliberal di kabinetnya.
Perbaikan menyeluruh dan mendasar, sejak dari pendulum hukum dan ekonomi politiknya, hingga regulasi dan pemangku kebijakannya, merupakan prasyarat agar bangsa ini tidak saja mampu mengobati tukak dan nanah, namun juga sembuh sepenuhnya menjadi bangsa yang kuat dan megah. Seyogyanya, gejolak akhir Agustus 2025 kemarin, dapat trigger agar perbaikan menyeluruh dan mendasar itu dapat terlaksana dan hati rakyat tak makin mendua.
Wallahualam bissawab