Tvkoma.id – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik sejumlah perubahan yang diusulkan lewat revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Revisi undang-undang tersebut tengah dibahas di internal Mabes TNI.
Berdasarkan draf yang tertuang dalam paparan pembahasan RUU TNI, terdapat sejumlah usulan perubahan pasal yang akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum, dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Pihaknya juga sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI karena tidak memiliki nilai urgensi. Selain itu, substansi perubahan yang diusulkan pemerintah dinilai bukan untuk memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tapi justru malah sebaliknya.
“Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI,” demikian dikutip dari keterangan tertulis koalisi, Rabu (10/5).
Hal pertama yang disoroti koalisi yaitu perubahan pada Pasal 3 Ayat (1) UU TNI. Pasal tersebut berbunyi, TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah presiden. Sementara dalam UU TNI saat ini, Pasal 3 berbunyi, dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah presiden.
Menurut koalisi, ketentuan tentang kewenangan presiden dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer semestinya tetap dipertahankan.
Koalisi berpendapat dihapusnya kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh presiden dalam UU TNI berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
“Hal ini tentu akan meletakkan fungsi TNI kembali seperti di masa lalu dimana TNI dapat bergerak dalam menghadapi masalah keamanan dalam negeri dengan dalih operasi militer selain perang tanpa melalui keputusan presiden. Hal ini tentu melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yang demokratis,” kata koalisi.
Kedua, koalisi mengkritik perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Menurut koalisi, usulan perubahan Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukkan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara.
Lewat revisi UU TNI yang diusulkan, jenis OMSP dari semula berjumlah 14 bertambah menjadi 19. Koalisi menyatakan beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung pembangunan nasional.
“Adanya perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah,” kata koalisi.
Ketiga, koalisi menyoroti perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Dalam Pasal 47 Ayat (2) yang diusulkan, prajurit aktif TNI bisa duduk di 18 kementerian lembaga, ditambah kementerian lain yang membutuhkan.
Menurut koalisi, ketentuan ini dapat membuka ruang kembalinya dwifungsi ABRI seperti yang dipraktikan di era Orde Baru.
“Penting diingat, pada masa Orde baru, dengan dasar doktrin Dwifungsi ABRI, militer terlibat dalam politik praktis dimana salah satunya dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya,” kata koalisi.