Jakarta, 9 Oktober 2025 – Suasana di seberang Taman Pandang Monas, Jakarta Pusat, sore tadi berubah menjadi ruang perlawanan moral. Sekitar 50 aktivis, mahasiswa, dan keluarga korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) kembali menggelar aksi damai ke-881 kalinya, dengan tema lantang:

“Kembalikan TNI ke Barak, Akhiri Impunitas!”

Aksi yang dipimpin oleh Sumarsih, ibu dari korban tragedi Semanggi I, menjadi simbol keteguhan perlawanan terhadap ketidakadilan yang tak kunjung diselesaikan negara. Sejak pukul 15.20 WIB, massa berdiri diam membentangkan payung hitam bertuliskan seruan tuntutan:

“Tuntaskan pelanggaran HAM di Aceh,”
“Jangan Diam, Lawan Impunitas,”
hingga
“Tetapkan Tragedi Kanjuruhan sebagai Pelanggaran Berat HAM.”

">

Tidak hanya orasi, massa juga membawa spanduk besar bertuliskan “Bubarkan Komando Teritorial” dan “Soeharto Penjahat Kemanusiaan, Tolak Gelar Pahlawan!” — sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto.

Dalam refleksinya, perwakilan JSKK menyoroti ironi di balik peringatan HUT TNI ke-80 yang baru saja dirayakan meriah di kawasan Monas.

“Kami menghormati TNI sebagai penjaga negara, tapi menolak impunitas dan keterlibatan militer di ruang sipil. Ranah sipil adalah ruang demokrasi, bukan perpanjangan tangan militer,” ujar salah satu peserta aksi.

Suasana kian emosional ketika perwakilan dari Karawang menceritakan perjuangannya menggugat Undang-Undang TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menegaskan bahwa rakyat berhak mengoreksi lembaga militer yang dibiayai dari uang rakyat, namun justru sering menindas rakyat itu sendiri.

“Seragam, peluru, dan mobil mereka dibayar dengan uang rakyat. Tapi ketika rakyat menggugat, mereka bilang kita tidak punya hak. Itu bentuk arogansi yang harus dihentikan,” tegasnya.

Sementara itu, aktivis buruh perempuan Nining Elitos dari KASBI menyoroti ketimpangan sosial dan ekonomi yang terus dibiarkan negara.

“Ketika rakyat bersuara, disebut makar. Ketika rakyat mempertahankan tanah, dihadang tentara. Negara ini bukan buta, tapi pura-pura tidak melihat penderitaan rakyatnya,” ujarnya lantang.

Aksi yang berlangsung hingga pukul 18.00 WIB itu juga diwarnai penampilan musik, monolog, dan pembacaan refleksi dari mahasiswa Fakultas Hukum UI. Salah satu mahasiswa mengatakan:

“Indonesia terasa gelap, bukan karena malam, tapi karena nurani bangsa ini padam. Negara sibuk pamer kekuasaan, sementara korban terus menunggu keadilan yang tak kunjung datang.”

Sebelum menutup aksi, perwakilan Imparsial mengingatkan bahwa reformasi TNI tidak akan pernah tuntas tanpa penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Reformasi sejati bukan sekadar memisahkan sipil dan militer, tapi mengadili mereka yang melanggar kemanusiaan,” katanya.

Dengan spanduk dan payung hitam berkibar di bawah langit senja Monas, massa menutup aksi dengan seruan lantang:

“Hidup korban! Jangan diam! Lawan!”

Temukan juga kami di Google News.