Jakarta – Peneliti CIE, Muhammad Chaerul, untuk menanggapi pernyataan Prof. Siti Zuhro yang menyebut yang sepaket itu hanya Pemilu bukan untuk Pemakzulan Wapres Gibran.

Muhammad Chaerul, Peneliti CIE (Center for Institutional Equity) menegaskan bahwa pernyataan bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak sepaket dalam konteks pemakzulan memang menarik, namun tidak sepenuhnya tepat dalam kerangka sistem presidensial Indonesia.

Konstitusi Tetap Mengikat Keduanya sebagai Satu Paket Politik

Dia menyebutkan bahwa Pasal 6A UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan oleh rakyat secara langsung. Itu bukan sekadar prosedur teknis Pemilu itu mencerminkan satu entitas politik yang lahir dari mandat yang sama dan tidak bisa dipisahkan sesuka tafsir.

">

“Ketika pasangan itu terpilih, maka legitimasi konstitusional yang melekat pada keduanya bersumber dari satu proses yang utuh. Maka, dalam proses pemakzulan pun, harus ada dasar hukum dan konstitusional yang jelas, bukan berdasarkan asumsi moral atau tafsir sepihak tentang etik,” ungkapnya, hari ini.

Sebelumnya, Pakar Ilmu Politik Profesor Siti Zuhro berpendapat, aturan itu hanya berlaku dalam kontestasi Pilpres atau Pemilu 5 tahunan, tidak bisa dikaitkan dengan aturan impeachment. Lantaran kesalahan salah satu pemimpin negara merupakan tanggung jawab masing-masing individu.

“Selanjutnya enggak diatur, jadi kalau presiden mundur, satu paket, wakil presiden mundur, satu paket, enggak ada gitu loh. Kesalahan dibuat oleh masing-masing,” kata Siti Zuhro, Selasa, 10 Juni 2025.

Pemakzulan Tidak Bisa Berdasar Asumsi Etika Semata

Dikatakan Chaerul, pemakzulan dalam Pasal 7A UUD 1945 mensyaratkan pelanggaran hukum berat: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, atau perbuatan tercela.

“Etika dan opini publik memang penting, tapi tidak bisa dijadikan dasar tunggal. Jika hanya karena pelanggaran etik oleh Mahkamah Konstitusi lalu menjadikan hasil Pemilu tidak sah dan memicu impeachment, maka kita sedang membuka ruang chaos konstitusional,” ucapnya.

Jangan Buka Kotak Pandora

Masih kata dia, kalau pemakzulan Gibran dipaksakan atas dasar ‘prosedur pencalonannya bermasalah’, maka konsekuensi logisnya adalah mempertanyakan keabsahan seluruh hasil Pemilu, termasuk legitimasi Presiden terpilih. “Ini seperti membuka kotak Pandora: berisiko menumbangkan seluruh sistem hanya karena satu narasi,” ujarnya.

Demokrasi Butuh Kepastian, Bukan Tafsir Situasional

“Justru kita butuh sistem hukum yang pasti, bukan konstitusi yang ditafsir fleksibel sesuai arah politik. Pemilu sudah selesai. Kalau ada gugatan, salurkan melalui jalur hukum yang tersedia. Tapi mendorong pemakzulan hanya karena ‘kekecewaan moral’ adalah preseden buruk bagi demokrasi,” pungkasnya.

“Pemakzulan bukan ruang pembalasan politik atau koreksi moral publik. Ia adalah alat konstitusional yang hanya bisa digunakan dengan syarat ketat dan bukti kuat. Presiden dan Wakil Presiden lahir dari mandat rakyat secara bersama-sama—dan jatuhnya pun tak bisa sembarangan dipisahkan,” tandasnya.

Temukan juga kami di Google News.