Jakarta – Polri menggelar dialog publik bertajuk “Penyampai Pendapat di Muka Umum: Hak dan Kewajiban, Tindakan Anarkistis Menjadi Tanggung Jawab Hukum”, Senin (29/9/2025). Acara ini menghadirkan Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo bersama sejumlah tokoh dari kalangan aktivis, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.
Hadir di antaranya Usman Hamid dari Amnesty International, pengamat politik Rocky Gerung, Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Franz Magnis Suseno, anggota Kompolnas Choirul Anam, Ketua YLBHI Muhammad Isnur, Ketua PBHI Julius Ibrani, Direktur Imparsial Ardi Manto, serta Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya.
Dalam forum tersebut, para pembicara menyampaikan evaluasi sekaligus rekomendasi untuk memperkuat peran Polri dalam menjamin hak kebebasan berekspresi dan penyampaian pendapat di ruang publik.
Muhammad Isnur, menyoroti minimnya program pendidikan dan penguatan di jajaran Polda hingga Polsek terkait paradigma pelayanan terhadap massa demonstrasi.

“Pak Waka ini diperlukan evaluasi secara menyeluruh program-program satuan wilayah di unit Polda, Polres, Polsek tentang paradigma jika orang menyatakan pendapat atau berekspresi juga adalah bagian daripada kerja kepolisian,” ujarnya.
Sementara itu, Dimas Bagus Arya menekankan empat poin rekomendasi. Pertama, reformasi kelembagaan Polri, bukan sekadar transformasi perilaku. Kedua, peninjauan ulang aturan internal agar pengawasan berjalan akuntabel. Ketiga, menjamin ruang publik untuk berpikir, berekspresi, dan berkumpul secara damai tanpa pembatasan. Keempat, memperkuat kolaborasi dengan masyarakat sipil demi akses informasi dan bantuan hukum yang lebih terbuka.
Ardi Manto, menegaskan bahwa reformasi budaya militeristik di kepolisian mendesak dilakukan. Ia juga menyoroti lemahnya kewenangan Kompolnas sehingga perlu dipisahkan secara tegas dari eksekutif.
“Kemudian terakhir penegakan hukum tanpa penghormatan HAM itu akan melahirkan ketidakadilan. Reformasi kepolisian dan pengawasan publik menjadi suatu hal yang urgen hari ini untuk dilakukan,” tegasnya.
Usman Hamid menambahkan struktur kontrol internal dan eksternal kepolisian masih lemah karena bercampur dengan kepentingan eksekutif. Ia menyoroti adanya dominasi oligarki dalam tubuh Polri yang berpotensi menciptakan loyalitas ganda, bukan kepada rakyat atau negara, melainkan pada kepentingan bisnis.
“Pengaruh kekuatan-kekuatan oligarki yang begitu besar itu tidak boleh masuk ke Kepolisian kepolisian harus dibebaskan dari semacam itu,” tambahnya.
Di samping itu Franz Magnis Suseno, menambahkan bahwa kebebasan berpendapat harus dibarengi tanggung jawab. Ia mengingatkan agar polisi belajar mendekatkan diri sebagai mitra masyarakat. Sebab jika aturan dibuat logis, orang akan mengikuti. Kalau tidak logis, orang akan mencari jalan dengan cara menghindar.
Meski demikian, Romo Magnis mengaku optimistis dengan Polri, meski serangan terhadap institusi kepolisian belakangan mencerminkan adanya masalah sosial yang perlu dicermati. Namun sejatinya masyarakat tetap merasa aman jika ada Polisi sebagai penjaga kamtibmas.
“Ada beberapa konflik penyerangan terhadap tempat polisi saya anggap ini serangan tidak tepat tetapi harus juga dilihat menjadi tanda didalam masyarakat ada sesuatu yang tidak beres. Tapi pada dasarnya orang berjalan di manapun seperti di kereta api stasiun-stasiun melihat polisi merasa aman.” pungkasnya.