Yogyakarta — Dalam semangat memperingati Hari Sumpah Pemuda, anak-anak muda dari berbagai latar belakang di Yogyakarta menggelar Jagad Kewarasan Fest 2025 di Ndalem Benawan, Yogyakarta. Acara bertema “Sumpah Pemuda dalam Keistimewaan Yogyakarta untuk Membangun Kewarasan Nasional” ini berlangsung selama tiga hari, 24–26 Oktober 2025, dan menampilkan kolaborasi lintas komunitas, kampus, dan pelaku seni.

Festival ini dibuka dengan diskusi, workshop, dan pameran seni yang diprakarsai oleh BEM FISIP UNY. Hari kedua menjadi puncak kegiatan dengan kolaborasi Methozen dan RJA Creative House yang menghadirkan berbagai musisi lokal, termasuk penampilan band Methosa dalam rangkaian program Wisata Orang Waras (WOW). Sementara itu, hari terakhir ditutup dengan kegiatan bakti sosial berupa penyerahan alat tulis untuk PAUD di sekitar lokasi acara.

Menghidupkan Kembali Semangat Gotong Royong

Ketua panitia, Raihan dari BEM FISIP UNY, menjelaskan bahwa Jagad Kewarasan Fest adalah bentuk nyata kolaborasi anak muda yang ingin menghidupkan kembali nilai luhur gotong royong.

">

“Semangat gotong royong dipandang mulai luntur. Melalui kegiatan ini kami ingin membuktikan bahwa nilai-nilai kebersamaan itu masih hidup dan harus terus menjiwai kehidupan sehari-hari,” ujar Raihan dalam konferensi pers, Sabtu (25/10).

Methosa dan Kritik Sosial dalam “Wisata Orang Waras”

Penyanyi Mansen Munthe, mewakili band Methosa, menjelaskan bahwa program Wisata Orang Waras merupakan bentuk perjalanan musikal yang membawa pesan sosial dan spiritual kepada masyarakat. Melalui album Kausa Nusantara, Methosa mengangkat isu-isu seperti konflik agraria, ketimpangan, dan krisis lingkungan.

“Kami hanya bersuara lewat karya seni. Jika suara kami dianggap salah, mungkin yang perlu dipertanyakan adalah nurani sosial kita bersama,” ungkap Mansen.

Dalam penampilannya, Methosa membawakan lagu-lagu yang sarat makna, termasuk “Bangun Orang Waras” dan “Pulanglah”—lagu baru yang terinspirasi dari diskusi bersama penggemar (Methozen) mengenai fenomena bunuh diri di kalangan anak muda. Lagu “Pulanglah” mengajak pendengar untuk kembali pada diri, keluarga, dan Tuhan sebagai bentuk penyembuhan batin.

“Untuk Jogja, bukan Methosa yang mewaraskan Jogja, tapi Jogja yang mewaraskan diri sendiri. Jogja istimewa,” tambah Mansen.

Ruang Ekspresi untuk Generasi Muda

Sebagai pendamping kegiatan, Maria Ninis menegaskan pentingnya ruang-ruang ekspresi bagi kaum muda agar mereka dapat menyuarakan keresahan dan aspirasinya.

“Generasi muda perlu didengar, bukan dibungkam. Mereka butuh ruang untuk berekspresi secara sehat dan kreatif,” tuturnya.

Diskusi Inspiratif dan Healing Bersama

Pada forum diskusi bertema Sumpah Pemuda dalam Keistimewaan Yogyakarta, hadir Widihasto Wasana Putra, Ketua Sekber Keistimewaan Yogyakarta. Ia menegaskan pentingnya memahami sejarah keistimewaan Yogyakarta dan semangat persatuan dari Sumpah Pemuda.

“Sejarah itu penting untuk kehidupan hari ini dan masa depan. Tapi jangan pernah mengulang masa lalu yang traumatik,” ujar Widihasto.

Di sela-sela diskusi, peserta juga diajak mengikuti sesi healing bersama Kinesiolog Krishna Dharma dan praktisi sound healing Mira Astra, yang diawali dengan lagu Methosa “Pulanglah”. Sesi ini ditutup dengan bedah lagu “Sembunyi”, yang menggambarkan kerakusan manusia terhadap alam, serta pandangan dari Rakli Piscae (WALHI) mengenai isu lingkungan.

Musik dan Kewarasan Jiwa

Malam puncak Jagad Kewarasan Fest ditutup dengan penampilan musik dari band-band lokal seperti Tanda Seru, Rudder, serta kolaborasi orkestra Musik Rumah Jawa Apik dengan solo biola Rakanda. Penampilan Methosa bersama musisi muda dan penyanyi cilik Yogyakarta menjadi puncak acara yang menggugah semangat penonton untuk bernyanyi bersama.

Rakanda, pemimpin orkestra sekaligus musisi muda Jogja, mengajak rekan-rekannya untuk terus berproses di bidang seni sebagai bentuk partisipasi nyata dalam membangun kewarasan sosial melalui gotong royong.

Jagad Kewarasan Fest 2025 menegaskan bahwa seni, musik, dan kolaborasi lintas komunitas bisa menjadi ruang penyembuhan sosial. Lewat semangat Sumpah Pemuda dan keistimewaan Yogyakarta, anak muda kembali membuktikan bahwa kewarasan nasional dimulai dari keberanian untuk mendengar, berdialog, dan berkarya bersama.

Temukan juga kami di Google News.