Jakarta – Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurniansyah, menyebut bahwa meskipun secara legal tidak ada larangan eksplisit dalam undang-undang yang mengatur larangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjaga keamanan di sejumlah kantor kejaksaan, namun tindakan ini sangat problematik jika dilihat dari momentum dan konteks politik yang sedang berjalan.
Menurutnya, saat ini pemerintah bersama DPR RI sedang menggodok revisi Undang-Undang TNI yang memberikan ruang lebih besar bagi militer untuk menduduki jabatan sipil. Dalam konteks tersebut, langkah TNI menjaga kejaksaan dinilai sebagai upaya demonstratif Panglima TNI untuk menarik perhatian Presiden dan menunjukkan dukungan terhadap arah revisi tersebut.
“Yang menjadi masalah adalah momentumnya yang mungkin kurang tepat hari ini misalnya pemerintah dengan DPR RI sedang melakukan perombakan atau revisi terhadap rancangan undang-undang TNI yang di dalamnya memang menguntungkan TNI salah satunya adalah memberikan akses terhadap TNI untuk menduduki jabatan-jabatan sipil,” ujar Dedi, Jumat (23/5/2025).
Dedi menilai, pengerahan TNI untuk menjaga institusi seperti Kejaksaan Agung adalah bentuk keterlibatan yang berlebihan dan berisiko terhadap prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi. Terlebih, selama ini TNI sudah memiliki yurisdiksi tersendiri melalui peradilan militer, tanpa harus diperkuat lewat posisi di institusi sipil ataupun yudikatif.

“Sebetulnya menjadi masalah karena militer tidak seharusnya melakukan itu kenapa karena tentu itu berlebihan. Militer tidak harus mengkhususkan dalam hal ini adalah Kejaksaan kemudian dijaga sedemikian,” tandasnya.
Ia menegaskan bahwa kekhawatiran utama bukan hanya soal kehadiran TNI di lembaga eksekutif, melainkan wacana yang membuka jalan bagi militer menduduki posisi penting di Mahkamah Agung. Menurutnya, ini berpotensi merusak keseimbangan sistem trias politica Indonesia.
Bahkan merujuk tentang berbagai dugaan kasus korupsi yang melibatkan unsur militer tidak bisa disentuh oleh KPK karena alasan yuridiksi. Jika militer masuk ke Mahkamah Agung, potensi kekebalan hukum semakin besar, dan supremasi hukum bisa lumpuh.
“Menurut saya ini paling krusial adalah militer sepertinya mendukung total rancangan undang-undang itu karena disitu salah satunya misalnya ada satu posisi yang penting yaitu di Mahkamah Agung nama Mahkamah Agung inilah yang seharusnya ditolak,” pungkasnya.