JAKARTA – Pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Usman Hamid menyatakan penolakannya atas rencana pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada Presiden kedua RI Soeharto.
Usman menilai seseorang dengan catatan kelam masa lalu, seperti di perkara korupsi dan HAM, tidak layak ditetapkan sebagai pahlawan.
“Jadi, kalau dia meninggal dunia dalam keadaan melakukan kejahatan atau dengan status tersangka atau terdakwa, entah itu kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan lingkungan, atau korupsi, sulit diletakkan sebagai pahlawan,” ujar Usman dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip Jumat (7/11).
Pegiat HAM itu menyebut Soeharto sampai akhir hayatnya masih dalam proses peradilan dan dicap sebagai pemimpin buruk.
">
“Soeharto meninggal dunia ketika dia setengah diadili oleh pengadilan karena kasus korupsi, bahkan di Asia Tenggara, dia dianggap sebagai pemimpin paling buruk di dunia,” ujarnya.
Diketahui, Soeharto bersama Presiden keempat RI Abdurahman Wahid atau Gus Dur dan aktivis buruh Marsinah diusulkan menjadi pahlawan nasional.
Usman merasa heran Soeharto dengan kasus masa lalu kelam bisa masuk sebagai kandidat pahlawan bersama Gus Dur dan Marsinah.
“Bagaimana bisa Soeharto disandingkan dengan Gus Dur, Soeharto disandingkan dengan Marsinah,” imbuh Usman.
Tokoh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Mustofa Bisri juga berpandangan serupa dengan pendapat Usman. Mustasyar PBNU yang kondang dengan panggilan Gus Mus itu mengaku keberatan terhadap rencana pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus, Rabu (5/11).
Pemimpin Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang Jawa Tengah, itu menilai Soeharto selama berkuasa membuat kebijakan tak adil bagi ulama dan kiai.
“Banyak kiai yang dimasukkan ke sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh dipasang banyak dirobohkan oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ujar dia.
Gus Mus juga menuturkan pengalaman Kiai Sahal Mahfudh yang pernah diminta menjadi penasihat Golkar Jawa Tengah.
“Kiai Sahal Mahfudh itu didatangi pengurus Golkar Jawa Tengah diminta jadi penasehat Golkar Jawa Tengah. Kiai Sahal tidak mau, saya menyaksikan sendiri,” tutur Gus Mus.
Kiai yang juga seniman itu mengatakan bahwa warga NU yang mendukung gelar pahlawan untuk Soeharto menunjukkan ketidaktahuan terhadap sejarah.
“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak mengerti sejarah,” kata Gus Mus.




