Jakarta — Reformasi TNI kembali diterpa badai kontroversi! Baru sembilan bulan pemerintahan Prabowo-Gibran berjalan, publik sudah dikejutkan dengan kabar Letjen TNI Novi Helmy Prasetya kembali ke status militer aktif setelah sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama Perum Bulog.

Keputusan ini langsung memicu kritik tajam berbagai pihak yang menilai kebijakan tersebut sebagai kemunduran serius dalam agenda reformasi militer.

SETARA Institute bahkan mengeluarkan tiga catatan penting. Pertama, penempatan Letjen Novi di Bulog dan kini dikembalikan ke status aktif dinilai sebagai “kemunduran ganda” dalam reformasi TNI, yang seharusnya menegaskan pemisahan tegas antara urusan militer dan sipil.

Kedua, pernyataan Kepala Pusat Penerangan TNI (Kapuspen TNI) yang menyebut Letjen Novi menjalankan tugas atas penugasan TNI, dianggap berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Jika Letjen Novi memang belum pensiun saat memimpin Bulog, kondisi ini memperkuat dugaan campur tangan militer dalam ranah sipil.

">

Ketiga, alasan “kebutuhan organisasi” yang dijadikan dasar mengembalikan Letjen Novi ke militer aktif justru dianggap panggilan untuk evaluasi menyeluruh. Pasal 11 UU TNI menegaskan postur dan sumber daya TNI disiapkan untuk menghadapi ancaman militer, bukan untuk dipekerjakan di lembaga sipil seperti BUMN.

“Ini menjadi preseden buruk yang melemahkan batas sipil-militer. Reformasi TNI jangan dikorbankan demi alasan pragmatis,” tegas pernyataan SETARA Institute.

Kini, publik menanti langkah pemerintah dan DPR. Apakah akan ada koreksi terhadap kebijakan ini, atau Indonesia harus bersiap menghadapi kembalinya bayang-bayang militer di ranah sipil?

Temukan juga kami di Google News.