JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil kembali mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Setelah sebelumnya mengajukan uji formal terhadap UU tersebut, koalisi kini mengajukan uji materi untuk beberapa pasal dalam UU TNI.
Uji materi UU TNI ini dilayangkan oleh lima organisasi masyarakat sipil, yakni Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan LBH APIK Jakarta.
“Selain pemohon organisasi, terdapat juga tiga pemohon perseorangan, yakni: Ikhsan Yosarie, dosen sekaligus peneliti bidang pertahanan SETARA Institute. Dua pemohon lainnya ialah mahasiswa UGM atas nama M Adli Wafi dan M Kevin Setio Haryanto,” kata Arif Maulana, saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025).

Arif mengatakan, UU TNI mengandung banyak permasalahan, dari segi substansi hingga pembentukannya.
Masalah pertama yang digugat adalah Pasal 7 ayat 2 huruf b angka 9 Undang-Undang TNI yang dianggap memberi kewenangan TNI untuk membantu mengatasi aksi pemogokan dan konflik komunal.
Padahal, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, hak untuk menyuarakan pendapat, termasuk mogok, diakui sebagai hak warga negara.
“Pelibatan militer dalam menghadapi pemogokan pekerja berarti menempatkan tindakan sipil yang sah sebagai ancaman keamanan negara. Selain itu, frasa ‘konflik komunal’ dalam pasal tersebut bersifat multitafsir dan karet, karena tidak dijelaskan batasan hukumnya,” ucap dia.
Kedua, terkait dengan kewenangan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) yang dinilai bisa berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kewenangan dan menjauhkan mekanisme sipil terhadap militer.
“Koalisi menilai pengaturan ini adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil yang telah menjadi fondasi utama demokrasi pasca-reformasi 1998,” ucap dia.
Ketiga, terkait Pasal 47 ayat 1 yang memberikan legalitas prajurit TNI aktif menduduki jabatan yang dinilai melemahkan independensi lembaga pemerintahan sipil.
Keempat, Pasal 53 yang mengatur perpanjangan usia pensiun perwira tinggi TNI yang disebut bisa membuat ketimpangan karier karena memperlambat regenerasi perwira muda.
“Koalisi menilai pasal ini memperkuat feodalisme internal militer dan mengancam efektivitas struktur komando,” kata Arif.
Baca juga: Respons Partai Buruh Usai Gugatannya soal Ambang Batas Parlemen Tidak Diterima MK
Terakhir, Koalisi Masyarakat Sipil juga menggugat Pasal 74 UU TNI yang dinilai menghambat penerapan peradilan umum untuk prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum.
Mereka meminta agar MK menyatakan pasal-pasal tersebut inkonstitusional dan mengembalikan UU TNI seperti sedia kala, sebelum dilakukan revisi.