Jakarta – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyesalkan vonis ringan yang dijatuhkan pengadilan militer terhadap oknum anggota TNI pelaku kekerasan yang menewaskan remaja berinisial MHS (16) di Deli Serdang, Sumatera Utara.
“Setiap tindak kekerasan terhadap anak adalah kejahatan serius yang tidak boleh ditoleransi. Penegak hukum harus memprosesnya secara transparan, adil, dan memberikan efek jera,” kata Arifah seperti dilansir Tempo, 26 Oktober 2025.
Sersan Satu (Sertu) Riza Pahlivi, anggota TNI di Medan divonis oleh Pengadilan Militer I-02 Medan 10 bulan penjara setelah terbukti menganiaya seorang pelajar SMP hingga tewas. Hukuman tersebut lebih ringan dari perkara pidana ringan, seperti pencurian.
Arifah menilai hukuman penjara sepuluh bulan yang dijatuhkan kepada pelaku terlalu ringan dibanding ancaman pidana 15 tahun penjara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Ia juga menyinggung soal kewenangan peradilan dalam perkara tersebut.
Ia mengungkapkan tetap menghormati seluruh proses hukum yang tengah berjalan, termasuk kewenangan peradilan militer. Ia mendorong agar seluruh aparat penegak hukum, baik di peradilan umum maupun militer, menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama.
“Terlebih, berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelanggaran hukum pidana umum semestinya diproses di peradilan umum, bukan peradilan militer,” kata Arifah.
Menurut dia, penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan anak harus menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama. “Negara wajib hadir memastikan keadilan dan perlindungan bagi setiap anak Indonesia,” kata Arifah.
Kasus ini bermula pada 24 Mei 2024 ketika MHS berada di sekitar lokasi tawuran di Jalan Pelican, Deli Serdang. Saat aparat membubarkan tawuran, korban diduga ditangkap dan dianiaya oleh anggota babinsa hingga tewas, meski tidak terlibat dalam bentrokan tersebut.
Setelah lebih dari setahun proses hukum berjalan, pengadilan militer memvonis pelaku 10 bulan penjara dan mewajibkan membayar restitusi sebesar Rp12,7 juta. Putusan itu dinilai jauh dari rasa keadilan yang diharapkan keluarga korban.
Desakan Revisi UU Peradilan Militer
Sebelumnya Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Desakan revisi UU Peradilan Militer itu muncul setelah vonis ringan dan pengurangan hukuman terhadap sejumlah anggota TNI.
Koalisi yang terdiri dari sejumlah organisasi seperti Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra lnitiative, ICW, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Menurut Koalisi, pola semacam ini menunjukkan bahwa ketika pelaku berasal dari institusi militer, proses hukum cenderung tertutup dan hukuman tidak proporsional. “Hukum tampak tunduk pada seragam dan pangkat, bukan pada keadilan,” bunyi pernyataan itu.
Koalisi menilai praktik impunitas ini menjadi ancaman bagi supremasi sipil dan penegakan negara hukum. Mereka menegaskan, Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebenarnya sudah mengatur bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum, bukan militer.
Namun, aturan itu kerap diabaikan karena revisi UU Peradilan Militer tak kunjung disahkan. “Tanpa revisi, impunitas terhadap kejahatan anggota TNI akan terus terjadi dan melanggengkan kekerasan serupa,” tulis Koalisi.
