Jakarta – Belakangan beredar narasi bahwa dua mahasiswa UNDIP, Rafli Susanto dan Rezky Setiabudi, ditangkap secara tidak adil dengan tuduhan penyanderaan intel pada aksi May Day 1 Mei 2025.

Namun, benarkah ini kasus kriminalisasi aktivis atau ada proses hukum yang sah? Mari lihat fakta-faktanya.

Aktivis Corong Rakyat Hasan memastikan proses hukum yang dilakukan aparat Kepolisian jelas berdasarkan bukti adanya penyanderaan Intel. Kata dia, penangkapan dilakukan setelah adanya laporan dan bukti dugaan pelanggaran hukum (Pasal 333 dan 170 KUHP).

“Video yang beredar bahwa Intel yang bertugas menjaga keamanan justru disekap, diintimidasi, dan diancam! Ini bukan aksi damai, ini kejahatan terorganisir! Pasal 333 dan 170 KUHP jelas mengatur hukuman untuk tindakan biadab seperti ini,” kata dia.

">

Dia juga mengaku miris dengan istilah bahwa mereka mengaku pejuang demokrasi, tapi tindakannya justru menginjak hukum. Dua mahasiswa UNDIP, Rafli Susanto dan Rezky Setiabudi, bukan korban penindasan tapi mereka pelaku penyanderaan intel saat May Day.

“Ini bukan kriminalisasi, ini murni penegakan hukum. Padahal jelas, Intelijen itu bukan penjahat. Mereka bertugas mengamankan situasi dan mengumpulkan informasi terkait tindakan yang berpotensi melanggar hukum. Jika mahasiswa tidak terlibat tindakan kriminal, tidak perlu khawatir. Namun, jika ada bukti, proses hukum harus berjalan,” bebernya.

Kata Hasan, klaim “kriminalisasi aktivis” sering dipakai untuk mengaburkan fakta pelanggaran yang dilakukan. Dia juga menyayangkan sikap mereka yang teriak ‘kriminalisasi aktivis’, tapi mana buktinya?

“Yang ada, polisi punya laporan sah dan bukti kuat bahwa intel disandera! Kalau benar tidak bersalah, kenapa tidak laporkan kesewenangan polisi ke Pengadilan? Karena mereka tahu diri bersalah,” sambungnya.

Dikatakannya, aksi demonstrasi adalah hak konstitusional, tetapi jika ada kekerasan, perusakan, atau upaya pembatasan kebebasan orang lain (seperti penyanderaan), maka itu melanggar hukum.

“Kita semua mendukung kebebasan berekspresi dan hak mahasiswa untuk bersuara. Namun, jika ada indikasi pelanggaran hukum, proses harus berjalan transparan dan adil. Mari dorong penyelesaian hukum yang fair, bukan justru menyebar narasi provokatif tanpa dasar yang jelas,” pungkasnya.

“Jangan mau dibohongi! Jangan biarkan mahasiswa arogan bin brutal ini jadi ‘pahlawan’ palsu! Mereka harus diadili setimpal! Ini bukan perjuangan tapi kejahatan,” pungkasnya.

Temukan juga kami di Google News.