Jakarta – Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Rudi HB Damman, menegaskan bahwa peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day bukanlah ajang hiburan atau pesta semata, melainkan momentum perjuangan dan refleksi sejarah panjang gerakan buruh. Hal itu ia sampaikan dalam pernyataan resminya menjelang pelaksanaan May Day 2025.

“Sejak GSBI hadir dalam gerakan buruh Indonesia, kami menegaskan bahwa May Day bukan fiesta. May Day adalah peringatan perjuangan,” tegas Rudi.

Dia mengingatkan kembali bahwa sejarah 8 jam kerja yang kini dinikmati oleh pekerja di seluruh dunia merupakan hasil perjuangan keras kaum buruh lebih dari seabad lalu, bukan hadiah dari kapitalis maupun penguasa.

Rudi menekankan pentingnya menjadikan May Day sebagai momentum untuk mengorganisir kekuatan, membangkitkan kesadaran, dan memobilisasi perjuangan kaum buruh serta rakyat tertindas. Dalam konteks Indonesia saat ini, ia menyatakan bahwa kondisi buruh dan situasi nasional sedang tidak baik-baik saja. Oleh karena itu, May Day 2025 harus menjadi titik balik kebangkitan gerakan buruh.

">

“Ini saatnya kaum buruh bersatu dan menuntut pencabutan omnibus law cipta kerja, serta mendesak Presiden Prabowo untuk melahirkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Baru yang menghadirkan negara dalam hubungan kerja yang bermartabat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Rudi juga mendorong pelaksanaan reforma agraria sejati sebagai pondasi pembangunan industri nasional yang mandiri dan berdaya saing. Menurutnya, proteksionisme ekonomi yang berpihak pada rakyat harus menjadi arah kebijakan negara agar Indonesia tahan terhadap goncangan global.

Perbedaan Bukan Perpecahan

Menanggapi adanya perbedaan aktivitas antar kelompok buruh pada peringatan May Day, Rudi menepis anggapan bahwa buruh sedang terbelah.

“Perbedaan tindakan, sikap, dan kegiatan dalam gerakan buruh adalah hal biasa. Itu bagian dari dinamika demokrasi dan konsekuensi dari kebebasan berserikat,” jelasnya.

Ia mencatat bahwa Indonesia memiliki lebih dari 20 konfederasi serikat pekerja, serta ratusan federasi dan serikat di tingkat perusahaan yang independen. Dengan begitu, perbedaan pandangan dan cara perjuangan adalah hal yang wajar dan tidak boleh menjadi alasan perpecahan.

“Yang penting bukan nama atau warna serikatnya, tapi agenda perjuangannya. Kita harus fokus pada perbaikan nasib buruh, peningkatan kesejahteraan, serta reformasi sistem ketenagakerjaan dan kenegaraan agar amanat UUD 1945 benar-benar dijalankan,” tambah Rudi.

Ia menutup pernyataannya dengan seruan persatuan kepada seluruh elemen buruh:

“Kekuatan buruh ada pada jumlah dan solidaritasnya. Jangan mau dipecah belah. Mari kita bergandengan tangan, perkuat dan perbesar barisan perjuangan!”

Temukan juga kami di Google News.