Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil ternyata memantik kontroversi besar. Banyak pihak menilai MK keliru membaca konstitusi. Bahkan ada yang menyebut MK gagal paham.
Akademisi Universitas 17 Agustus, Fernando Emas, menegaskan bahwa putusan MK ini salah sasaran. Pembatasan jabatan sipil itu, kata dia, seharusnya berlaku untuk TNI bukan Polri—karena secara hukum Polri adalah institusi sipil.
Fernando menilai MK terlalu mengikuti arus opini publik tanpa mendalami konteks Undang-Undang Kepolisian, terutama Pasal 8, serta agenda reformasi Polri pasca 1998. Ia juga melihat kejanggalan: ketika menguji Undang-Undang Militer, MK justru bersikap berbeda.
“MK harus independen,” tegas Fernando.
">
“Bukan mengikuti tekanan atau keinginan pihak tertentu. Putusan harus lahir dari nalar dan nilai konstitusi,” sambungnya.
Ia kemudian menjelaskan, Polri dan TNI adalah dua entitas berbeda. Pembatasan militer di jabatan sipil masuk akal karena TNI bukan bagian dari struktur sipil. Tapi Polri? Justru sebaliknya. Polisi sebagai aparat sipil diperlukan untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu demi efektivitas kementerian dan lembaga negara.
Karena itu, Fernando mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk mengeluarkan Perppu. Tujuannya: mengatur ulang posisi strategis yang memang membutuhkan keahlian khusus anggota Polri.
“Sebaiknya Presiden Prabowo meluruskan dengan Perppu, agar jabatan sipil yang relevan tetap bisa ditempati anggota Polri,” pungkasnya.
Lantas, apakah MK benar-benar salah tafsir? Atau justru ini momentum untuk menata ulang relasi sipil–keamanan? Yang jelas, publik kini menunggu langkah selanjutnya dari Presiden.




