Jakarta – Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah Putra menyoroti kebijakan terbaru dan Perpres yang baru dimana melibatkan TNI dalam pengamanan jaksa. Dedi menyebut langkah ini sebagai bentuk degradasi terhadap kedaulatan militer.

“Kebijakan ini agak kurang bijak. Sejak dulu kejaksaan tidak pernah memiliki masalah keamanan yang mengharuskan penjagaan militer,” tegas Dedi dalam pernyataannya, Kamis (27/6/2024).

Dedi memaparkan tiga poin kritik utama, pertama tidak ada ancaman nyata. Hingga saat ini tidak pernah ada catatan serius tentang ancaman keamanan terhadap jaksa yang membutuhkan pengawalan khusus TNI.

Berikutnya, lanjut Dedi, penyimpangan tugas TNI. Penggunaan militer untuk keamanan dalam negeri justru menurunkan kewibawaan TNI yang seharusnya fokus pada pertahanan negara.

">

“Poin ketiga adalah potensi politisasi. Kebijakan ini berisiko mengubah TNI menjadi alat politik untuk mengamankan kepentingan kelompok tertentu,” kata dia.

“Menempatkan TNI untuk mengawal jabatan tertentu sama saja menjadikan mereka sebagai alat politik. Ini bertentangan dengan koridor utama TNI sebagai penjaga kedaulatan negara,” tutur Dedi lagi.

Perbandingan dengan Ancaman Nyata

Dedi menyoroti ironi kebijakan ini dengan realitas di lapangan, dimana Kelompok sipil yang mengkritik pemerintah justru lebih rentan mengalami ancaman keamanan. Jaksa selama ini telah memiliki perlindungan yang memadai dari aparat kepolisian.

“Jadi tidak ada urgensi yang membenarkan penjagaan khusus oleh militer. Faktanya, yang paling rentan adalah masyarakat sipil yang kritis, bukan jaksa. Kebijakan ini terkesan berlebihan dan tidak proporsional,” ujarnya.

Oleh karenanya, Dedi menyarankan agar kembalikan TNI pada tugas utama pertahanan negara. Selanjutnya, serahkan urusan keamanan dalam negeri sepenuhnya kepada Polri. Dan hentikan pengistimewaan pengamanan bagi pejabat tertentu. Terakhir, fokus pada perlindungan kebebasan sipil yang lebih rentan.

“Presiden seharusnya bisa melihat porsi yang tepat untuk TNI dan Polri. Kebijakan ini justru menunjukkan ketidakjelasan visi tentang posisi militer dalam negara,” pungkas Dedi.

Temukan juga kami di Google News.