Jakarta, 9 Agustus 2025 – Seruan keras datang dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan atas vonis ringan terhadap dua prajurit TNI yang menewaskan anak di bawah umur di Sumatera Utara, serta munculnya kembali kasus kekerasan dalam tubuh militer yang menewaskan Prada Lucky Chepril Saputra Namo di Nusa Tenggara Timur. Di tengah situasi ini, rencana TNI meresmikan enam Komando Daerah Militer (Kodam) baru pada 10 Agustus 2025 justru memicu kekhawatiran akan kemunduran agenda reformasi militer pascareformasi 1998.

Dalam siaran pers yang diterbitkan pada Jumat (9/8), Koalisi mengecam keras putusan Pengadilan Militer I-02 Medan pada 7 Agustus lalu, yang hanya menjatuhkan hukuman dua tahun enam bulan penjara dan pemecatan terhadap Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Francisco Manalu. Kedua prajurit tersebut terbukti melakukan penembakan yang menewaskan MAF, seorang anak di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

“Vonis ini sangat jauh dari rasa keadilan,” tegas Koalisi. Mereka menilai, putusan ini kembali menunjukkan pola impunitas dan lemahnya akuntabilitas dalam sistem peradilan militer yang selama ini cenderung tertutup dari pengawasan publik.

Koalisi juga menyoroti kasus kekerasan dalam internal TNI yang kembali memakan korban. Prada Lucky Chepril Saputra Namo meninggal dunia pada 6 Agustus 2025 setelah sebelumnya mengalami penyiksaan berat yang diduga dilakukan seniornya di Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) 834 Waka Nga Mere, Nagekeo, NTT. Tubuh Prada Lucky ditemukan penuh luka memar dan bekas tusukan. Keluarganya bahkan dilaporkan mengalami intimidasi setelah memprotes kejadian tersebut.

">

“Ini bukan kasus pertama. Dalam empat tahun terakhir, setidaknya ada dua kasus pembunuhan sesama prajurit yang mencuat ke publik namun tetap diwarnai ketertutupan proses hukum,” ungkap Koalisi, merujuk pada kasus Prada MZR (2023) dan Sertu Bayu (2021).

Menurut mereka, berbagai kasus ini memperjelas bahwa sistem peradilan militer yang selama ini digunakan justru menghalangi keadilan bagi korban, baik dari kalangan sipil maupun militer sendiri. Padahal, menurut TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU TNI, prajurit yang melakukan tindak pidana umum seharusnya diadili di peradilan umum, bukan militer.

Lebih lanjut, Koalisi juga mengecam rencana TNI untuk menambah enam Kodam baru yang akan diresmikan pada 10 Agustus mendatang. Mereka menilai langkah ini bertentangan dengan semangat reformasi militer 1998, yang salah satu agendanya adalah restrukturisasi dan pengurangan Komando Teritorial (Koter) yang identik dengan peran sosial-politik TNI di masa Orde Baru.

“Penambahan Kodam bukan hanya menyedot anggaran besar, tapi juga memperkuat kembali struktur kontrol sosial-politik ala Dwifungsi TNI yang seharusnya sudah ditinggalkan,” ujar Koalisi.

Mereka menegaskan bahwa penambahan Kodam akan memperluas peran TNI dalam ruang-ruang sipil, yang justru memperburuk relasi sipil-militer dan mengancam supremasi sipil dalam demokrasi.

Koalisi Menyampaikan Empat Tuntutan Kunci:

1. Evaluasi proses hukum kasus penembakan MAF dan tuntut akuntabilitas dari Peradilan Militer I-02 Medan;

2. Pindahkan kasus kematian Prada Lucky ke peradilan umum, sesuai amanat reformasi dan hukum yang berlaku;

3. Reformasi menyeluruh terhadap sistem peradilan militer, melalui revisi UU Peradilan Militer 1998;

4. Hentikan penambahan Kodam baru dan jalankan agenda restrukturisasi Komando Teritorial sesuai amanat reformasi 1998.