Tvkoma.id, Jakarta – Menjelang vonis Teddy Minahasa pada Selasa 9 Mei 2023, sejumlah ahli dan praktisi hukum nilai kasus narkoba ini penuh dengan rekayasa. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Pidana UNAIR, Nur Basuki Minarno.
“Banyak fakta-fakta yang disampaikan itu tidak utuh. Bisa dikatakan fakta ini telah dibuat sedemikian rupa, seolah-olah bahwa yang dituduhkan itu benar adanya atau dengan kata yang lebih disingkat, ini penuh rekayasa,” ujar Nur Basuki Minarno dalam sebuah podcast Youtube Bravos Radio Indonesia, dikutip Senin (8/5/2023).
Adapun fakta-fakta di persidangan, menurut Basuki sangat nampak terindikasi adanya unsur rekayasa. Hal itu seperti bukti percakapan tidak utuh disajikan di persidangan, tidak ada pembuktian ilmiah soal asal-usul sabu, hingga adanya potensi pengkondisian keterangan saksi di persidangan.
Terkait bukti percakapan yang tidak utuh disajikan JPU di persidangan, menurut Basuki rawan rekayasa. Menurutnya bisa jadi bukti percakapan sengaja dipilih-pilih sehingga membentuk sebuah rangkaian peristiwa, padahal seharusnya tidak demikian karena tidak melihat konteks yang seutuhnya.
“Informasinya di dalam persidangan ternyata terbukti hanya beberapa chat yg disuguhkan, ini tidak menggambarkan peristiwa yang benar. Kalau demikian kan sama halnya direkayasa supaya dari chat itu membentuk suatu kerangka bhawa apa yang diterangkan menjadi benar, padahal belum tentu,” bebernya.
Selanjutnya yang cukup menjadi sorotan kritis Basuki adalah perihal pembuktian ilmiah asal-usul sabu yang menjadi biang masalah dalam perkara ini.
Dari awal persidangan hingga jelang vonis putusan hakim tidak ada pembuktian ilmiah dari JPU yang menunjukkan dengan pasti kesamaan sabu yang disita di Jakarta dengan yang ada di Bukittinggi.
Sejauh ini dakwaan JPU hanya bersandar kepada saksi yang juga berstatus terdakwa dalam kasus ini.
“Itu kan dari para keterangan terdakwa, sekalipun dia sebagai saksi mahkota mengatakan bahwa sabu yang telah diperjual-belikan itu kan berasal dari Polres bukittinggi, pengakuan mereka. Tapi kan gak ada pembuktian scientific terkait masalah asal usul dari sabu. Itu kan hanya mendasarkan keterangan dari Dody dan maarif yang notebenya juga sebagai terdakwa,” kata Basuki.
Kemudian yang semakin menguatkan kecurigaan bahwa kasus narkoba Teddy Minahasa ini penuh rekayasa menurut Basuki adalah sejumlah terdakwa yang lazimnya memiliki konflik kepentingan dibela oleh pengacara yang sama. Hal ini menurutnya menjadi aneh dan menguatkan kecurigaan.
“Gak lazim karena yang saya lihat, ini dalam posisi ada penjual (sabu), ada pembeli (sabu), ada pihak lain misalnya Kasranto yang diminta Linda atau Anita untuk menjual itu kan (sabu). Umumnya atau lazimnya, tentu mereka punya kepentingan sendiri-sendiri di antara terdakwa ini. Nalurinya orang ingin menyelamatkan dirinya sendiri, tapi dalam konteks ini kok bisa dihandle jadi satu oleh tim lawyer yang sama,” jelasnya.
Menurutnya, rekayasa-rekayasa itu tampak nyata terlihat, hingga lahir kesimpulan bahwa pembuktian JPU lemah dan banyak celah. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada putusan hakim saat sidang vonis nanti.
Menurut Basuki, dalam kondisi seperti ini jika hakim merasa ragu terhadap pembuktian JPU di persidangan maka lebih bijak hakim memberikan putusan yang menguntungkan terdakwa.
“Pada prinsipnya, kalau hakim ragu-ragu terkait dalam penilaian fakta, entah ini benar atau salah, dia harus memberikan keputusan yang menguntungkan bagi terdakwa. in dubio pro reo,” pungkasnya.