Jakarta – Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali menjadi sorotan publik. Menanggapi hal itu, Ketua Umum LSM Pemantau Kinerja Aparatur Negara Satu (PENJARA 1), Teuku Z. Arifin, menyatakan dukungannya terhadap pembaruan KUHAP yang dinilainya sudah sangat usang dan tidak lagi relevan dengan tantangan hukum modern.

“Ya memang harusnya benar-benar adaptif. KUHAP itu harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, termasuk di era digital seperti sekarang,” ujar Teuku dalam keterangannya, hari ini.

Menurutnya, hukum acara pidana Indonesia selama ini masih terlalu kaku dan terjebak dalam pola warisan kolonial Belanda.

Teuku menegaskan pentingnya RUU KUHAP yang realistik dan kontekstual bukan sekadar formalitas. “Kita perlu KUHAP yang benar-benar mewakili bangsa ini, bukan sekadar meniru sistem hukum luar. Harus lebih membumi dan menyerap realitas sosial yang ada,” ucapnya.

">

Tak hanya dari aspek substansi, ia juga mengkritik proses penyusunan KUHAP yang selama ini cenderung eksklusif. “Jangan hanya dengar dari kelompok tertentu yang nyaman dengan status quo. Dengarlah juga suara dari kelompok-kelompok yang kritis, meski jauh dari pusat kekuasaan. Justru bisa jadi itu lebih membangun dan mendorong hasil yang lebih out of the box,” tegasnya.

*Perjelas Posisi Penyidik, Hapus Ambiguitas Hukum*

Lebih lanjut, Teuku menilai RUU KUHAP juga penting untuk memperkuat dan memperjelas posisi penyidik, khususnya bagi institusi Polri. Ia menilai, penguatan ini penting agar proses penegakan hukum berjalan lebih adil dan transparan bagi semua pihak, baik aparat maupun masyarakat.

“RUU KUHAP harus memuat aturan yang rinci, agar tidak menimbulkan ruang abu-abu. Hukum itu harus memberikan kepastian. Jangan seperti UU ITE yang multitafsir dan rawan disalahgunakan,” katanya.

Menurutnya, hukum acara pidana yang baik harus memberi kepastian hukum bagi masyarakat, agar tidak ada lagi kebingungan, apalagi peluang manipulasi dari elite yang berkepentingan.

“Dengan KUHAP yang lebih terang dan rinci, semua tahu posisi masing-masing. Baik masyarakat maupun aparat jadi punya pegangan yang jelas. Tidak ada lagi ruang gelap atau tafsir sepihak,” jelas Teuku.

Ia juga mengingatkan bahwa KUHAP yang baik akan mendorong lahirnya budaya hukum yang lebih beradab, adil, dan partisipatif di mana semua pihak tahu hak dan kewajibannya.

Temukan juga kami di Google News.