Tvkoma.id – Dari waktu ke waktu, seruan yang menggemakan khilafah untuk menggantikan sistem pemerintahan di suatu negara masih saja terdengar, tak terkecuali di Indonesia. Berbagai propaganda dari para pengusung ideologi transnasional ini selalu menyusup dan menumpangi isu-isu yang sedang menyita perhatian publik.

Membahas propaganda khilafah dan signifikansinya, KH Helmi Ali Yafie menjelaskan, sama dengan seluruh sistem pemerintahan yang pernah ada dalam peradaban manusia, khilafah pun memiliki banyak kekurangan. Pendiri Lembaga Kajian Pembangunan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) ini membandingkan sistem kekhilafahan dengan praktik kerajaan yang umum di wilayah Timur Tengah.

“Kalau kita kembali mempelajari sejarah, sistem Khilafah itu seringkali mengacu pada model yang dijalankan pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Fatimiyah. Dari masing-masing kelompok yang sempat memimpin, sebenarnya semua itu tidak jauh berbeda dengan apa yang kita kenal sebagai sistem kerajaan,” terang Kiai Helmi.

Dia menambahkan, justru dengan kegagalan dan ketidakpuasan masyarakat Timur Tengah dengan sistem kekhilafahan, muncul gerakan baru yang disebut dengan sufisme. Sufisme hadir sebagai sikap kritis terhadap gaya dan pola kehidupan keluarga khalifah yang saat itu bermewah-mewahan dan senang memamerkannya.

">

Anggota Badan Pengawas Perhimpunan Rahima ini menyebutkan, negara Indonesia terbentuk sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Landasan negara ini disepakati mengingat beragamnya latar belakang anak bangsa yang sama-sama ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di masa lalu.

“Saya kira tidak ada Indonesia, seperti sekarang ini, kalau para pendiri bangsa tidak sepakat. Model bernegara seperti sekarang inilah yang sudah dipilih. Terlepas dari kekurangannya, model bernegara Indonesia bisa dipertanggungjawabkan dan faktanya tetap eksis sampai sekarang,” ujar Kiai Helmi.

Pengasuh Pondok Pesantren Al Taqwa, Pinrang, Sulawesi Selatan, ini mengatakan, problem terbesar yang dirasakan masyarakat saat ini sebenarnya adalah persoalan ekonomi. Dalam hal keagamaan, mayoritas orang Indonesia sudah terbiasa hidup dalam keberagaman. Relatif sulit bagi ideologi seperti khilafah untuk masuk dan jadi suara mayoritas di Indonesia.

Kiai Helmi menerangkan, ideologi khilafah tidak bisa dikatakan mengacu kepada Al-Qur’an, karena praktik kekhilafahan berdasarkan pada tafsir sekelompok orang saja. Oleh karena itu, menurutnya, bentuk negara RI sekarang ini adalah yang terbaik. Sebabnya, dengan bentuk ini, Indonesia bisa merangkum keberagaman, seperti pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

“Intinya, yang diterapkan di Timur Tengah belum tentu bisa diterapkan di sini. Apalagi ideologi baru belum tentu menyelesaikan persoalan Indonesia” imbuh Sekjen PB DDI periode 2015-2020 ini.

Kiai Helmi mengingatkan, rakyat Indonesia, terlebih lagi yang Muslim, harus ingat bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang sudah termaktub dalam Al-Qur’an. Jika Tuhan menghendaki manusia ini memiliki latar belakang yang sama, tentu mudah saja bagi-Nya. Akan tetapi, manusia ditakdirkan dalam perbedaan agar masing-masing dari mereka bisa saling memahami, mengenali, dan menghormati.

Ia berharap, masyarakat Indonesia tetap waspada terhadap provokasi yang mungkin ditemui berbarengan dengan kejadian tertentu yang menyita perhatian publik. Menurut Kiai Helmi, propaganda khilafah tidak lebih dari sekadar pembalikan fakta sejarah yang dilebih-lebihkan tanpa mau jujur dengan segala kekurangannya.

Kiai Helmi meminta masyarakat Indonesia tidak bosan untuk terus belajar dan mencari sandaran ilmu pada organisasi keagamaan yang telah teruji kredibilitasnya, seperti Nahdlatul Ulama, Darud Da’wah wal Irsyad, dan Muhammadiyah.

Temukan juga kami di Google News.