JAKARTA – Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Virga Dwi Efendi mengungkapkan bahaya pelibatan TNI aktif dalam jabatan publik. Karena itu, hal tersebut harus dicegah dan ditolak termasuk dampak revisi UU TNI yang dinilai membuka peluang masuknya militer ke berbagai jabatan sipil yang sebelumnya dilarang.
Hal ini disampaikan Virga dalam diskusi publik bertajuk ‘Dinamika Hubungan Sipil-Militer dalam Negara Demokrasi: Arus Balik Reformasi TNI’ di Yogyakarta, Jumat (14/11/2025). Diskusi publik ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum FH UGM, Imparsial, Pandekha, Jurnal Prisma, dan Centra Initiative dan dimoderatori oleh Wahyudi Djafar (Reksha Institute).
“Masalah utama pelibatan TNI dalam jabatan sipil adalah potensi kekacauan, pelanggaran HAM, dan masalah akuntabilitas serta kepastian hukum. Siapa yang akan mengawasi? Bagaimana dengan pengaturan rangkap jabatan yang tidak selaras dengan prinsip negara hukum dan supremasi sipil?,” ujar Virga dalam diskusi tersebut.
Virga mengungkapkan data era Orde Baru (versi Tempo) yang menyebutkan 13.000 anggota TNI aktif menduduki jabatan sipil, mulai dari Gubernur hingga pimpinan lembaga negara seperti Mahkamah Agung. Di era sekarang juga ada potensi anggota TNI aktif kembali menduduki jabatan sipil.
“Padahal, transisi menuju tatanan yang lebih demokratis menuntut reposisi TNI agar kembali pada khittah profesionalisme militernya, tunduk di bawah kendali sipil, dan beroperasi dalam koridor hukum yang jelas,” tandas Virga.
Virga secara khusus menyoroti dampak revisi UU TNI yang dinilai membuka peluang masuknya militer ke berbagai jabatan sipil yang sebelumnya dilarang. Menurut dia, hal tersebut akan menciptakan konflik kewenangan dan zona abu-abu akuntabilitas.
“Misalkan jika terjadi maladministrasi, apakah proses hukum akan melalui Peradilan Tata Usaha Negara atau sistem militer, yang dari kacamata Hukum Administrasi Negara akan melemahkan asas akuntabilitas, transparansi, dan check and balances dalam pengawasan pejabat administrasi negara,” pungkas Virga.
