Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat

Unairnews pada tanggal 22/08/2025 menampilkan artikel ilmiah yang berjudul “Mengkaji Ulang Eksistensi Hizbut Tahrir di Indonesia.” Tulisan yang ditulis oleh Dr. Irham Zaki, S.Ag., MEI di website resmi Universitas Airlangga ini menarik untuk diperhatikan.

Saya kadang ditanya: “Apakah HTI masih ada? Kan sudah dibubarkan.” Saya jawab, “masih. Mungkin lebih besar.” Perkiraan saya andaikata sampai akhir pemerintahan Prabowo – Gibran 2029 HTI tidak diapa-apain, mungkin massa mereka sekitar 5 juta orang, yang terdiri dari anggota, pendukung dan simpatisan.

Ketidaktahuan publik tentang pergerakan HTI pasca pencabutan badan hukum mereka 2017 dapat dimaklumi. Sebab, HTI melakukan adaptasi strategi ketika tampil di muka umum. Identitas dan simbol ke-HTI-an disimpan rapat-rapat. Publik nyaris sulit membedakan antara HTI dengan yang bukan HTI.

">

HTI telah dibubarkan secara hukum, bukan berarti ideologinya ikut lenyap. Justru, mereka menunjukkan kemampuan adaptasi yang mengkhawatirkan, bertransformasi dari gerakan politik terbuka menjadi jaringan ideologis yang menyusup lewat medium budaya, ruang komersial, dan regenerasi pendidikan.

Selain dengan metode konvensional melalui pendekatan pribadi, keluarga dan komunitas, ada tiga strategi utama HTI yang patut diperhatikan yaitu khilafatainment, gen zhilafah, dan khilafatel. Dikombinasikan digitalisasi khilafah berupa konten-konten propaganda di semua platform media sosial.

Khilafatainment adalah mengemas propaganda khilafah dalam bentuk pertunjukan teater dan visual modern memang cerdas secara komunikasi. Pendekatan ini demi menyamarkan muatan ideologis dengan kemasan hiburan. Penonton muda yang belum matang secara ideologis mudah terpengaruh oleh narasi sejarah versi HTI yang penuh glorifikasi dan simplifikasi.

Strategi ini mengaburkan batas antara edukasi dan propaganda. Menghindari ruang debat intelektual dengan mengganti argumen menjadi emosi visual. Menyasar psikologi remaja dengan pendekatan yang menyenangkan tapi manipulatif.

Gen zhilafah yaitu HTI secara sistematis membina generasi muda melalui lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan HTI, bahkan mengirim mereka ke luar negeri untuk memperkuat legitimasi keilmuan. Mereka tidak lagi direkrut di kampus atau sekolah umum, melainkan melalui jalur komunitas dan pendidikan alternatif.

Regenerasi ideologi dilakukan secara tertutup, tanpa transparansi kurikulum. Mengandalkan loyalitas keluarga dan komunitas, bukan kesadaran intelektual. Menyiapkan generasi yang ideologis tapi tidak terlibat dalam wacana publik yang sehat.

Khilafatel yaitu penggunaan fasilitas dan ballroom hotel sebagai tempat konsolidasi ideologi adalah strategi yang memanfaatkan celah dalam sistem bisnis. Hotel tidak memiliki tanggung jawab ideologis, sehingga menjadi tempat yang aman bagi HTI untuk berkumpul dan menyebarkan gagasan.

Kenyataan ini menunjukkan lemahnya sistem deteksi ideologi radikal di ruang komersial. Membuat kegiatan ideologis tampak “normal” dan “berkelas”, padahal substansinya tetap bertentangan dengan konstitusi. Menimbulkan risiko jangka panjang karena sulit diawasi dan diintervensi oleh negara.

HTI telah berhasil melakukan _rebranding_ ideologi khilafah menjadi sesuatu yang tampak modern, elegan, dan tidak ekstrem. Yang perlu diwaspadai, di balik kemasan tersebut, tetap tersimpan agenda ideologis yang bertentangan dengan prinsip negara dan nilai kebangsaan.

Temukan juga kami di Google News.