Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat
Wacana khilafah sebagai sistem pemerintahan terus menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat.
Kelompok Hizbut Tahrir (HT) secara konsisten mengusung gagasan bahwa khilafah adalah satu-satunya sistem politik Islam yang sah, bahkan mengklaim bahwa setiap penyebutan kata “khalifah” dalam Al-Qur’an secara otomatis menunjukkan keberadaan sistem pemerintahan khilafah. Namun, benarkah klaim tersebut dapat dipertahankan secara ilmiah?
Mari kita telaah dua figur penting dalam sejarah kenabian: Nabi Adam dan Nabi Daud ‘alaihissalam. Keduanya disebut sebagai khalifah dalam Al-Qur’an, namun konteks dan sistem yang menyertai gelar tersebut sangat berbeda dari klaim HT.

QS. Al-Baqarah: 30 menyebutkan: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Adam diangkat langsung oleh Allah sebagai khalifah. Namun, saat itu bumi belum dihuni oleh manusia lain, belum ada negara, pemerintahan, atau sistem politik.
Adam hidup bersama Hawa dalam keterpisahan yang panjang, bahkan menurut sebagian riwayat hingga ratusan tahun. Tidak ada struktur kekuasaan, tidak ada institusi negara, apalagi sistem pemerintahan khilafah seperti yang dimaksud HT.
Imam Al-Qurthubi dalam _Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an_ menjelaskan bahwa ayat ini berbicara tentang pengangkatan pemimpin secara umum ( _nashbul imam_), bukan tentang sistem pemerintahan tertentu. Maka, menjadikan QS. Al-Baqarah: 30 sebagai dalil sistem Khilafah apalagi Khilafah Tahririyah adalah bentuk penyempitan makna yang tidak berdasar.
QS. Shad: 26 menyebutkan: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi…”
Dalam QS. Al-Baqarah: 251 menyatakan bahwa Allah memberikan kepada Nabi Daud _al-mulka wal hikmata_ —pemerintahan dan hikmah. Kata “al-mulk” secara umum diterjemahkan sebagai kerajaan atau kekuasaan, bukan sistem khilafah. Tidak ada satu pun kitab tafsir yang menyebut bahwa sistem pemerintahan Nabi Daud adalah khilafah apalagi Khilafah Tahririyah.
Penafsiran ini diperkuat oleh Prof. M. Quraish Shihab dalam _Tafsir Al-Mishbah_, yang menekankan bahwa istilah “khalifah” dalam Al-Qur’an lebih merujuk pada tanggung jawab moral dan spiritual sebagai wakil Allah di bumi, bukan pada struktur politik tertentu.
Dengan demikian, tiga ayat Al-Qur’an—QS. Al-Baqarah: 30, QS. Al-Baqarah: 251, dan QS. Shad: 26, secara tegas membantah dua logika utama Hizbut Tahrir:
1. Bahwa setiap kata “khalifah” dalam Al-Qur’an secara otomatis menunjukkan sistem pemerintahan khilafah.
2. Bahwa khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang sah dalam Islam.
Kedua klaim tersebut tidak memiliki dasar kuat dalam teks Al-Qur’an maupun dalam tradisi tafsir klasik. Islam tidak membatasi sistem pemerintahan pada satu bentuk tunggal.
Khalifah adalah gelar bagi pemimpin secara umum. Tidak spesifik gelar pemimpin dalam sistem khilafah. Nabi Adam dan Nabi Daud menyandang gelar tersebut dalam konteks yang berbeda, dan tidak satupun dari mereka memimpin dalam sistem khilafah apalagi Khilafah Tahririyah.
Maka, menjadikan istilah “khalifah” sebagai dalil untuk menegakkan sistem politik tertentu dalam hal ini khilafah dan Khilafah Tahririyah adalah bentuk penyederhanaan yang tidak sesuai dengan kompleksitas ajaran Islam.