Jakarta – Jakarta kembali menjadi panggung utama dinamika politik dan sosial. Aksi demonstrasi yang marak belakangan ini menunjukkan bahwa aspirasi publik masih bergelora, sekaligus menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan aparat keamanan. Gelombang massa yang turun ke jalan adalah cermin keresahan rakyat, namun juga harus menjadi peringatan agar tidak mengorbankan stabilitas kota yang menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi.
Kondisi ini menuntut keseimbangan antara penghormatan terhadap hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat dengan kewajiban menjaga ketertiban umum. Jakarta bukan hanya ibu kota, tetapi juga rumah bersama bagi jutaan penduduk yang kehidupannya dapat terganggu oleh kekacauan. Oleh karena itu, setiap langkah harus diambil dengan pertimbangan matang, agar aspirasi tetap tersampaikan tanpa menimbulkan korban maupun kerugian sosial-ekonomi.
Aparat kepolisian berada di garis depan dalam menjaga keseimbangan tersebut. Mereka menghadapi situasi yang tidak mudah: di satu sisi dituntut mengamankan jalannya aksi, di sisi lain harus tetap mengedepankan pendekatan persuasif. Jika eskalasi tidak terkontrol, maka yang dirugikan bukan hanya peserta aksi, melainkan seluruh warga Jakarta yang aktivitasnya terhambat.
Dalam pandangan Jaringan Masyarakat Madura Jakarta (JAMMA), Jakarta harus ditempatkan sebagai prioritas utama dalam menjaga stabilitas nasional. Aksi protes adalah bagian dari demokrasi, tetapi jangan sampai menimbulkan luka baru bagi kota yang sudah menanggung beban berat sebagai pusat semua konflik kepentingan politik. “Karena itu, JAMMA mendorong semua pihak untuk lebih arif dalam menyalurkan aspirasi,” ungkap Edi Homaidi, Sabtu (30/8/2025) di Jakarta.

Sejarah telah mengajarkan bahwa demonstrasi besar di Jakarta selalu menjadi titik balik politik nasional. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, ia bisa berubah menjadi sumber krisis baru. Jakarta tidak boleh dibiarkan menjadi kota yang setiap saat terancam oleh kerusuhan, sebab stabilitas ibu kota akan selalu memengaruhi stabilitas nasional.
Edi JAMMA menegaskan perlunya sinergi antara pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat sipil untuk menjaga ruang publik tetap kondusif. Langkah pengamanan harus dilakukan secara humanis, sementara peserta aksi perlu menahan diri dari tindakan anarkis. Hanya dengan saling mengendalikan, Jakarta bisa tetap menjadi simbol kedewasaan demokrasi, bukan arena kekacauan.
Ke depan, konsolidasi politik nasional juga perlu diarahkan agar aspirasi rakyat mendapat saluran yang sehat. DPR sebagai lembaga representasi seharusnya hadir di tengah gejolak rakyat, bukan justru menghilang atau muncul hanya ketika ada korban. Kehadiran wakil rakyat sangat menentukan agar Jakarta tidak terus-menerus menjadi medan frustrasi publik.
Dalam konteks itu, Edi menilai menjaga Jakarta bukan sekadar urusan aparat keamanan, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa. Kota ini adalah jantung republik; jika ia goyah, maka sendi-sendi kehidupan nasional ikut terguncang. Karena itu, semua pihak harus menahan diri, mengedepankan dialog, dan memastikan aspirasi rakyat terhimpun dalam mekanisme demokrasi yang sehat.
Akhirnya, JAMMA menyerukan agar Jakarta dijaga dengan hati-hati dan penuh kebersamaan. Membangun kepercayaan antara rakyat, aparat, dan pemerintah adalah jalan terbaik untuk menghindari konflik berlarut. Saat kota ini tetap kokoh berdiri, maka Indonesia pun akan lebih kuat menghadapi tantangan zaman.