Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat

Sejak 5 tahun lalu NU tak lagi hanya bicara soal khidmah nasional, tapi mulai memainkan peran sebagai juru damai global. Dan ini bukan mimpi kosong. Ini adalah respons nyata terhadap dinamika dunia Islam yang terus bergolak.

Dua puluh satu tahun lalu, Desember 2004, National Intelligence Council (NIC) Amerika Serikat merilis laporan berjudul Mapping the Global Future. Mereka memetakan dunia tahun 2020 dalam empat skenario besar:

1. Davod World – Cina dan India bangkit sebagai kekuatan ekonomi dan politik. Ramalan ini terbukti. Cina bahkan menjadi rival utama Amerika dalam perang dagang.
2. Pax Americana – Amerika tetap menjadi pemimpin dunia. Hegemoninya belum tergoyahkan, terutama di kawasan Teluk.
3. A New Caliphate – Ramalan ini meleset sebagian. Khilafah memang diproklamirkan oleh ISIS tahun 2014, enam tahun lebih cepat dari prediksi NIC. Tapi hanya bertahan empat tahun, berakhir pada Maret 2019.
4. Circle of Fear – Lingkaran ketakutan akibat terorisme dan milisi sipil bersenjata. Dari Hautsi di Yaman, diaspora ISIS, hingga OPM di Papua, skenario ini sebagian besar terwujud.

">

Namun, yang menarik bukan hanya soal akurasi ramalan, tapi bagaimana NU merespons realitas ini.

Ketika ISIS mendeklarasikan khilafah, dunia Islam terbelah. Al-Qaeda dan Hizbut Tahrir menolak. HT bahkan menuduh khilafah ISIS sebagai proyek Amerika—ironis, mengingat Amerika justru membombardir mereka empat bulan kemudian.

Al-Qaeda menolak bukan karena teori konspirasi, tapi karena strategi jihad global. Menurut mereka, waktunya belum tepat. Taliban pun menolak, bukan karena ideologi, tapi karena fokus mereka adalah membela tanah air: Afghanistan. Bagi Taliban, Keamiran Islam Afghanistan sudah cukup.

Yang menarik, Amir Al-Qaeda Aiman Az-Zhawahiri justru menyatakan bai’at kepada Amir Taliban. Ia rela mengesampingkan perbedaan mazhab demi melawan Amerika. Al-Qaeda berpaham Wahabi-Hanbali, sedangkan Taliban menganut aqidah Maturidiyah dan fiqih Hanafiyah—lebih moderat dan luwes. Dari sisi corak keagamaan, Taliban justru lebih dekat dengan NU daripada Al-Qaeda.

Inilah alasan mengapa NU sangat relevan dalam diplomasi perdamaian. Ketika Afghanistan menjadi laboratorium jihad kaum Wahabi, NU hadir sebagai laboratorium perdamaian. Tahun 2014, 13 tokoh agama Afghanistan datang ke PBNU mencari solusi damai. Hasilnya: NU berdiri di Afghanistan.

Lima tahun kemudian, giliran delegasi Taliban yang sowan ke PBNU. Delapan orang diterima langsung oleh KH Said Aqil Siroj. Ini bukan kunjungan biasa. Ini adalah pengakuan diam-diam bahwa NU punya otoritas moral dan politik di dunia Islam.

Secara tidak langsung, Al-Qaeda yang berbai’at kepada Taliban, dan Taliban yang sowan ke NU, adalah pengakuan atas kepemimpinan NU dalam menyelesaikan konflik global. Afghanistan yang dulu jadi proyek gagal kaum jihadis, kini menjadi proyek percontohan NU dalam membangun perdamaian.

Jika NU berhasil mendamaikan Afghanistan, dunia Islam akan menoleh. NU bisa diminta turun tangan di Suriah, Yaman, Kashmir, bahkan Palestina. Ini bukan ambisi, tapi amanah. Dunia butuh Islam yang damai, moderat, dan berakar kuat pada tradisi. NU punya semua itu.

Temukan juga kami di Google News.