Jakarta – Pengamat Politik Universitas Nasional (UNAS), Selamat Ginting, menegaskan pentingnya percepatan revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) karena KUHAP yang berlaku saat ini masih merupakan produk hukum warisan kolonial Belanda. Menurutnya, aturan tersebut sudah tidak lagi selaras dengan perkembangan masyarakat dan nilai-nilai Pancasila.

“KUHAP kita ini warisan kolonial Belanda. Sesuatu yang sudah 80 tahun lalu, jelas tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai keindonesiaan. Pancasila mengadopsi hukum adat, hukum agama, dan kekhasan daerah, sementara KUHAP Belanda berorientasi Barat dan meninggalkan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat kita,” ujar Ginting, hari ini.

Ia mencontohkan, Indonesia memiliki keberagaman sistem hukum berbasis adat dan agama, seperti qanun di Aceh, hukum adat Papua dan Bali, hingga norma keagamaan di wilayah mayoritas Kristen maupun Hindu. Semua itu, menurut Ginting, harus diakomodasi dalam sistem hukum acara pidana yang baru.

Selamat Ginting menilai, revisi RKUHAP mendesak dilakukan demi membangun harmonisasi antara hukum nasional, nilai adat, dan norma keagamaan, sekaligus menyesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat modern.

">

“KUHAP harus menjadi harmoni antara modernisasi dan konteks keindonesiaan. Kita tidak bisa terus terjebak pada aturan peninggalan kolonial yang sudah keluar dari konteks zaman,” tegasnya.

Temukan juga kami di Google News.